Minggu, 23 Mei 2010

Sukses Tiga Sekawan di Bisnis TI

oleh : admin

Sebuah perkawanan merupakan hal berharga dalam kehidupan. Apalagi, kalau perkawanan itu bisa melahirkan bisnis bersama yang sukses. Berkah seperti inilah yang kini dirasakan tiga sekawan: Stanley Thirtabrata, Catur Iriyanto dan Harjono Jamaludin. Keberhasilan mereka tancapkan di bisnis teknologi informasi (TI) lewat PT Citrathirza Astarijaya (CA), yang didirikan pada 1990.

Gambaran keberhasilan CA bisa dilihat dari deretan kliennya yang cukup panjang, baik dari perusahaan swasta maupun lembaga publik. Sejumlah bank asing terkemuka seperti ABN Amro, Standard Chartered Bank, Deutsche Bank, JP Morgan Bank, Rabo Bank dan Daiwa Bank adalah sebagian kliennya. Revenue-nya pun dari tahun ke tahun terus tumbuh. Bila pada 2003 revenue CA mencapai US$ 5,5 juta (sekitar Rp 48 miliar), pada 2004 CA mampu membukukan revenue Rp 80 miliar (belum diaudit). Yang jelas merupakan pencapaian istimewa, mengingat modal awal yang mereka tanamkan hanya Rp 15 juta. Apalagi, kini CA juga diakui sebagai salah satu mitra andalan sejumlah vendor multinasional seperti Microsoft, Hewlett-Packard (HP), Electronic Data System (EDS) dan Sun Microsystems.

Sebelum mendirikan CA, tiga sekawan tersebut adalah para profesional di PT Berca Indonesia, yang saat itu merupakan agen tunggal dan perwakilan HP di Indonesia. Di perusahaan milik keluarga Murdaya itu mereka merasa tidak sreg dengan beberapa kebijakan bisnis perusahaan. Terutama mereka melihat Berca cenderung fokus ke bisnis hardware.

Sebenarnya tak hanya itu. “Secara pribadi saya melihat Berca Indonesia sangat dipengaruhi HP sebagai prinsipal. Ide-ide yang timbul bila tak disetujui HP, urung dilaksanakan. Jadi, lebih baik kami membuka usaha sendiri,” ujar Stanley Thirtabrata, yang kini Chairman CA. Namun, mereka tak mau munafik, ide mendirikan perusahan juga muncul karena melihat peluang besar di bisnis TI. Dari obrolan santai di antara ketiganya itu manakala makan siang, muncul keberanian untuk merealisasi usaha sendiri.

Dapat dimengerti bahwa mereka cukup percaya diri. Terutama melihat pengalaman kerja mereka yang rata-rata telah 7 tahun berkarya di PT Berca Indonesia. Stanley berkarier di perusahaan ini selama 1983-90, dengan posisi terakhir Manajer Engineering Sistem Distrik. Ia bertanggung jawab atas software support untuk produk workstation dan Unix business server dari HP. Jadi, Stanley sudah terbiasa memimpin tim. Catur Iriyanto, lulusan ITB, terakhir menduduki posisi Manajer Penjualan Distrik, membawahkan produk workstation yang terutama digunakan di bidang riset, desain/Computer-Aided Design and Engineering, dan manufakturing (Computer-Aided Manufacturing/CAM). Sementara Harjono Djamaludin, terakhir di Berca bertanggung jawab sebagai Representatif Penjualan untuk pasar sektor publik.

Guna menyediakan modal usaha, mereka masing-masing menyetor Rp 5 juta. “Kami tak bisa pinjam ke bank karena tak punya apa-apa sebagai jaminan,” kenang Stanley. Saat mulai beroperasi di tahun 1990, CA belum langsung fokus di bisnis software/aplikasi seperti sekarang. “Belum ada software yang umum. Software masih asing dan pilihannya terbatas. Personal computer (PC) saja baru mulai,” tutur Stanley yang tahun ini genap berusia 43.

Maklum, ketika itu sistem operasional yang banyak dipakai masih berbasis DOS, belum ada Windows. Bisa dimengerti kalau CA pun awalnya lebih berkonsentrasi jualan hardware, yakni berupa PC dan mesin-mesin komputer besar yang masih tergolong minikomputer. Vendor utamanya IBM dan HP. Dari sisi target pasar, sejak awal selain melayani sektor swasta, CA juga menggarap sektor publik. Tak heran, institusi seperti Perusahaan Listrik Negara (PLN) dan Bakosurtanal pun termasuk pelanggannya.

Namun, malang tak dapat ditolak, mujur tak bisa diraih, kondisi pasar hardware saat itu makin memburuk. “Pasar hardware makin tidak kondusif. Persaingannya hanya masalah harga. Rata-rata penjualan dilakukan melalui tender, otomatis yang harganya termurah yang menang,” keluh Stanley. Apalagi di segmen PC, persaingan makin menggila dengan hadirnya produk-produk murah rakitan dalam negeri mulai tahun 1997-an. Tak heran, saat bisnis utamanya masih di hardware, pertumbuhan bisnis CA sangat landai. “Maka sejak krismon kami fokus di bisnis software dan aplikasi. Di sini tak ada perang harga, tapi memberi solusi. Terbuka kesempatan memberi value added lebih tinggi kepada pelanggan,” tutur mantan mahasiswa angkatan pertama Jurusan Komputer Sekolah Tinggi Ilmu Komputer Gunadarma itu.

Praktis, sejak saat itu CA makin memperkuat diri di bisnis software, baik untuk instalasi maupun servis (maintenance). Mitra pertamanya adalah SCO Unix, vendor aplikasi berbasis Unix yang produknya dipakai hampir semua server berbasis prosesor Intel masa itu. Tahun 1997 kebanyakan server memang masih menggunakan aplikasi berbasis Unix. Toh, Stanley dkk. tak berhenti di situ. Mereka proaktif mencari vendor aplikasi lainnya yang bisa dijadikan mitra untuk mempercepat akselerasi bisnis. Upaya itu tak bertepuk sebelah tangan. Terbukti, setelah krisis jumlah mitra makin bertambah. Kini, di antara vendor besar yang menjadi mitra CA antara lain Microsoft, Sun Microsystems, HP, EDS dan Navition (sejak 2002 diambil alih Microsoft). “Perkembangan bisnis kami sejak tahun 2000 memang sangat cepat karena bisnis kami di bidang solusi. Nama perusahaan kami juga makin dikenal,” ujar Stanley sumringah.

Bila dirinci, kerja sama dengan Microsoft dimulai pada 1999. Kebetulan sekali, di tahun itu Microsoft Indonesia dikomandani mantan karyawan Berca Indonesia, Richard Kartawijaya. Otomatis tak sulit melakukan pendekatan bisnis. “Mereka yang awalnya mendekati kami,” cerita Stanley sembari menjelaskan ketika itu Richard menawari manajemen CA agar membantu menjual aplikasi Microsoft yang makin aktif berpromosi di Indonesia. Maklum, jumlah mitra Microsoft yang kuat di sektor publik kala itu terbilang sedikit. Sejak bermitra dengan Microsoft, CA tak lagi menjual layanan berbasis Unix.

Tahun 2000 CA berhasil menggandeng EDS dan Navition. EDS merupakan vendor penyedia aplikasi desain manufakturing dan engineering yang dibutuhkan kalangan perusahaan manufaktur. Di bisnis otomotif misalnya, aplikasi Computer-Aided Design (CAD)/CAM dari EDS bisa dimanfaatkan untuk simulasi dan testing mesin, knalpot, bodi, dan lain-lain. Lalu, dengan Navition, CA bekerja sama untuk penjualan aplikasi Enterprise Resources Planning (ERP) buat kalangan small medium enterprise (SME).

Tak berhenti di situ, tahun 2001 CA berhasil menggandeng Sun Microsystems. Sun rupanya tahu CA – yang juga bergerak di bidang pengembangan software – punya punya basis klien lumayan banyak. Apalagi waktu itu CA tengah membuat software perpajakan (tax online payment) untuk Direktorat Pajak. “Mereka mau bekerja sama karena ingin software kami bisa jalan di mesin mereka (Sun). Sekarang kalau kami menawarkan software ke klien maka sebagian mesinnya pakai Sun.” Ditambahkan Stanley, untuk pengadaan hardware, CA biasanya bekerja sama dengan HP bila servernya berbasis Intel. Namun kalau servernya butuh dukungan kapasitas dan kemampuan pemrosesan data lebih tinggi, CA mengajak Sun.

Tentu, selain mengandalkan aplikasi dari para mitra, CA juga bersandar pada kemampuan programer dan developer internal. Maklum, CA biasa membuat software sendiri sebagai solusi buat masing-masing klien. Belum lagi, tiga sekawan ini juga memiliki mayoritas saham di perusahaan khusus pembuat peranti lunak (software house) PT Internet Cipta Rekayasa, yang selama ini biasa membuat software perpajakan.

Gayung bersambut. Dengan makin banyak mitra yang digandeng, basis pelanggan CA pun makin bertambah. Walau begitu, nampaknya manajemen masih akan fokus melayani industri otomotif, distribusi, berbagai jenis usaha skala SME, perbankan, PLN dan juga sektor pemerintahan.

Untuk perusahaan distribusi, misalnya, CA banyak menawarkan solusi aplikasi ERP. Di segmen ini kliennya antara lain Aquaproof (produsen antibocor), Sellular Shop (distributor Motorola), Grup Tritama (distributor Sony Ericsson), Grup Harrisma, Epsindo, dan PT Ekamant (perusahaan join ventura produsen amplas industri).

Untuk industri manufakturing, CA menawarkan aplikasi dari EDS yakni CAD/CAM. Sejauh ini layanan ini banyak diminati Grup Astra, khususnya PT Astra Honda Motor, PT Kayaba, PT Federal Motor, dan lainnya. Maklum aplikasi ini akan memudahkan kalangan manufaktur mensimulasi dan testing produksi. Misalnya ketika membuat knalpot atau suku cadang tertentu, bisa dites bagaimana bentuknya dan daya tahannya bila dipanaskan hingga derajat tertentu, bisa meleleh atau tidak. “Mudah dilakukan simulasi akurat dengan aplikasi CAD/CAM,” papar Stanley.

CA juga sudah menggaet kalangan bank asing, terutama dalam hubungannya dengan program onlinenisation pembayaran pajak. “Bank-bank itu yang datang ke kami, minta dibuatkan software. Tim TI mereka tak ada di Indonesia, sehingga untuk membuat software TI di tingkat lokal tak memungkinkan,” tutur Stanley seraya menambahkan bahwa sekarang kontrak maintenance dengan bank-bank asing itu sudah berjalan dua tahun.

Di sektor publik (pemerintahan), CA hanya fokus di dua instansi: Departemen Keuangan dan PLN (BUMN). Depkeu dibidik CA karena dibanding seluruh departemen lain, implementasi TI di Depkeu paling maju. Direktorat Pajak kini termasuk klien besar CA. Di lembaga itu, sejak tiga tahun lalu CA membangun sistem TI yang memungkinan pembayaran transaksi pajak online secara nasional. Hingga kini kontrak maintenance terus diperpanjang. Bahkan CA menempatkan 7 stafnya yang tiap hari khusus stand by di instansi itu.

“Kami bisa maju karena tak lari ke mana-mana. Fokus di industri-industri di mana kami punya kompetensi,” Stanley menjelaskan salah satu kiatnya. Fokus, itulah salah katu kunci pertumbuhan usaha tiga sekawan ini. Bukan semata-mata promosi. Bahkan elemem promosi sebenarnya tak bisa disebut sebagai faktor penentu sukses mereka. Maklum, promosi CA tak bisa dibilang agresif. “Kami lebih banyak mendapatkan klien melalui referensi dari mulut ke mulut,” Stanley mengakui. Bukan berarti CA tak berpromosi sama sekali. Promosi biasanya dilakukan melalui seminar-seminar, bekerja sama dengan para vendor. Contohnya ketika Microsoft atau Navition mengadakan seminar, CA melakukan presentasi promosi di salah satu sesi. CA juga beberapa kali menyelenggarakan seminar sendiri. Tak lupa, promosi juga dilakukan dengan mengirimi surat penawaran ke beberapa perusahaan yang dinilai potensial.

Dalam pandangan Stanley, menggarap bisnis TI memang gampang-gampang-susah. Tidak bisa terlalu agresif tapi tak boleh pula lamban. “Harus selektif memilih klien,” kata Stanley membuka kiatnya yang lain. Perusahaan seperti CA tak bisa asal memperoleh klien banyak, sebab bukan tak mungkin malah terjerumus pada proyek-proyek yang tak kunjung rampung – misalnya, karena tak ada komitmen dan kekompakan dari kalangan internal klien untuk berubah. Bisa dimengerti, agar sukses mengerjakan proyek TI, pihaknya berusaha memegang “orang kuat” atau “orang kepercayaan” dari pemilik perusahaan klien agar segala keputusan bisa bulat. “Level manajer saja tak cukup karena masih terbuka peluang untuk berantem dengan manajer lain,” Stanley menceritakan pengalamannya. Kenyataannya, diakui Stanley, banyak proyek TI sering terbengkalai alias mulur karena dari sisi klien tak solid dalam pengambilan keputusan.

Tentu, persoalan dari sisi klien seperti itu hanya sebagian kendala dalam mengembangkan bisnis TI sebagaimana digeluti sang tiga sekawan. Kendala lain, “Orangnya gampang pindah dan dibajak perusahaan lain,” keluh Stanley yang tahun lalu kehilangan empat karyawan terbaiknya karena dibajak perusahaaan asing asal Singapura dan Amerika Serikat. Maklum programer dengan kemampuan khusus seperti aplikasi Java, peminatnya memang banyak. “Kami sudah capek mengajari, tiba-tiba setelah pintar diambil orang.” Manajemen CA akhirnya mengatasi hal itu dengan mengombinasi antara tim senior dan tim yunior. Staf senior mesti mengajari yang yunior. “Supaya kalau yang senior pergi, ada yang bisa menggantikan dari level yunior,” kata Stanley.

Kini total karyawan CA tak kurang dari 70 orang. Memang, dengan omset Rp 80 miliar setahun, jumlah karyawan itu terbilang ramping. “Prinsip kami, yang penting pegang tim inti. Kalau yang lain bisa direkrut dengan cara kontrak sesuai dengan pekerjaan.” Stanley membuat analogi seperti membangun sebuah proyek properti, yang amat dibutuhkan adalah arsitek, mandor dan tukang. Kalau buruh, bisa saja mencari tambahan sewaktu-waktu. Yang jelas, sekarang CA punya 12 tenaga developer/programer inti, dan bila ada tambahan pekerjaan sering merekrut programer untuk jangka 6 bulan atau setahun.

Bagaimanapun harus diakui, sukses CA tak lepas dari komitmen dan solidnya kebersamaan ketiga pendirinya. Sampai sekarang pembagian kerjanya tetap berlangsung rapi seperti komitmen awal, sehingga kongsi mereka tidak pecah di tengah jalan. Pembagian kerja berdasarkan teritori dan industrinya. Stanley banyak mengurusi pemasaran untuk klien Depkeu dan perusahaan swasta, khususnya SME. Catur lebih banyak menggarap industri otomotif, khususnya pemasaran aplikasi CAD/CAM. Sementara Harjono konsentrasi menggarap sektor pemerintahan dan publik, termasuk PLN. “Di antara kami bertiga, tugas dan haknya sama persis. Bahwa saya sebagai chairman itu hanya karena sesuai dengan akte. Semua masih tetap turun di lapangan. Sahamnya juga sama,” tutur Stanley.

Stanley mengungkapkan pula, bisnis CA juga bisa terus berkembang karena pihaknya tak mau rakus. “Kami tak mau greedy. Kami mungkin sering kesal bila ada proyek Rp 50 miliar tapi bagian kami hanya Rp 4-5 miliar. Tapi kalau kompetensi kami memang hanya itu, ya kami harus menerimanya,” ujar Stanley. Yang jelas, sejauh ini besaran proyek CA memang variatif, tapi nilai per proyek rata-rata Rp 2-3 miliar. Sekali lagi, tergantung besar-kecilnya skala pekerjaan. Pernah CA menggarap proyek yang nilainya di bawah Rp 1 miliar, tapi di lain waktu pernah pula yang nilainya Rp 23 miliar.

Hal penting lain yang diperhatikan CA adalah komplain pelanggan. Maklum, di bisnis jasa TI, komplain sudah hal lumrah. “Pertama kali yang harus kami lakukan ialah memberi respons, baru setelah itu masalahnya bisa dikaji bersama,” tutur penggemar buku manajemen dan pemasaran ini. Pihaknya sebisa mungkin menjalin hubungan yang mempermudah setiap relasi bisnis. Ini konsekuensi dari bisnis jasa yang digeluti pemilik CA, yang mengusung moto: Easy to do business with.

Kini, setelah 14 tahun berkiprah dan boleh dibilang cukup sukses, nampaknya tiga sekawan ini masih akan mengembangkan sayapnya. Ada sejumlah proyek baru yang bakal dimasuki. Contohnya, manajemen CA intensif menggarap segmen SME dengan menawarkan aplikasi yang sesuai dengan kebutuhan riil mereka. “Proyek TI untuk SME nilainya memang kecil, tapi jumlahnya banyak sehingga potensinya bagus,” kata Stanley. Manajemen CA juga hendak melayani industri fashion yang selama ini belum banyak tersentuh TI. Kabar terbaru, sebuah vendor asal Belanda sudah menggandeng CA untuk dijadikan mitra pemasaran dan pelayanan di Indonesia. Maret lalu bahkan tiga programer CA dikirim ke Belanda untuk mengikuti pelatihan. Jadi, bisnis milik tiga sekawan ini nampaknya masih akan terus bergulir.



http://swa.co.id/2005/04/sukses-tiga-sekawan-di-bisnis-ti/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar