Kamis, 29 Juli 2010

Berawal Keisengan, Kini Bisnis Jilbabnya Beromzet Puluhan Juta

salah satu model kerudung Rizhani Foto: www.kerudungrizhani.com
MEMULAI sebuah usaha tak harus menunggu tua atau sudah tidak lagi berjaya di dunia kerja. Sukses menjadi seorang pengusaha juga tak harus menunggu usia senja, masih muda pun bisa.

Kutipan tersebut melekat erat pada sosok Rizki Rahmadianti. Bagaimana tidak? Di usianya yang baru 33 tahun, dia dengan leluasa menapaki serta memantapkan diri pada dunia bisnis kerudung atau jilbab. Kini, usaha yang berawal dari coba-coba tersebut mendatangkan omzet puluhan juta rupiah setiap bulannya. Maklum, jilbab buatannya laris manis dipasarkan karena sedikitnya 30 agennya tersebar di tanah air yang dirangkul secara online.

Pasarnya tersebar hingga Bontang, Batang, Bekasi, Mataram, Papua, Magetan, Magelang, Kediri, Madiun, Malang, Jember, Mojokerto dan lainnya. Lantaran pangsa pasar yang sudah mapan berikut upaya penambahan jumlah agen baru, bisnis jilbab Rizki berlabel Rizhani ini sama sekali tak terusik semakin menjamurnya usaha serupa. Sebaliknya, usahanya menggurita di mana-mana.

”Semua ini bermula dari iseng-iseng disela kesibukan saya sebagai teknisi di sebuah stasiun televisi swasta nasional. Sebelum tahun 2003, saya coba-coba membuat sesuatu yang unik, dan kebetulan saya suka menyulam, akhirnya saya coba menyulam jilbab saya,” kata Rizki saat ditemui di workshop-nya di kawasan Perumahan Rungkut Barata, Surabaya, Jawa Timur, beberapa waktu lalu.

Awalnya,jilbab yang dibeli dari Royal Plaza, Surabaya, dibongkarnya untuk dipelajari. Baik desain aplikasi pita dan benang sulamnya.

Lantas dia berupaya memasukan unsur kreasinya dalam modifikasi tersebut, dan tetap mengedepankan estetika. Dari upaya ini, Rizki yang semula hanya bisa menjahit lurus, kini semakin lihai. Beberapa kerudung modifikasi karya sendiri kerap dipakai bepergian, baik di sekitaran Perumahan Rungkut Barata VI Surabaya, dalam maupun luar kota.Tak jarang banyak orang yang menanyakan tempat pembelian jilbab, tak lama setelah melihat jilbab yang dikenakan si empunya.

Kontan saja dengan bangga Rizki bertutur, jika jilbab tersebut adalah hasil buah tangannya, termasuk kreasi serta modifikasinya. Menangkap adanya peluang bisnis, Rizki langsung saja menyanggupi pesanan perdana dari seorang kenalannya. Kala itu dia tak sebatas melayani satu pesanan saja. Berbekal modal awal Rp300 ribu, alumni Fakultas Teknik Elektro Universitas Brawijaya (Unibraw) Malang ini sengaja membuat aneka jilbab dengan beragam model.

Buah tangan nonpesanan lantas ditawarkan kepada ibu-ibu pengajian di kampungnya. ”Respons ibu-ibu kelompok pengajian di kampung saya begitu menggembirakan,” ungkap sulung tiga bersaudara ini. Dan sejak tahun 2003, perempuan yang pernah mengenyam pendidikan mode di sekolah mode Suzan Budiharjo ini resmi melayani pesanan aneka kreasi jilbab.

Macam-macam sampel untuk meyakinkan mereka yang berkerudung dibuat. Hal ini dilakukan untuk menyasar semua segmen, mulai anak-anak, belia atau remaja, dewasa hingga kalangan orang tua. Rizki yang pernah tahu banyak tentang media dan menguasai penggunaan perangkat teknologi informasi, tak sebatas menerapkan promosi pemasaran secara tradisional, dari mulut ke mulut atau sebatas antar relasi.

Sebaliknya, sarana internet dimanfaatkan dengan bukti dibuatnya website www.rumahjilbabananda. com dan www. kerudungrizhani.com. Semua contoh jilbab hasil kreasinya pun di-upload. Hasilnya, luar biasa. Di awal pemanfaatan website, pesanan 200 jilbab dari seseorang di Jakarta sudah di depan mata, bahkan langsung dibayar di muka. ”Ini betul-betul kejutan bagi saya. Promosi lewat online kalau display-nya bagus memang manjur. Saya menjadikan keponakan dan saudara sebagai model. Editing photoshop-nya saya maksimalkan,” kata ibu dua anak ini.

Pesanan Naik Dua Kali Lipat saat Masuki Lebaran         

Pucuk dicinta ulam tiba. Bisa jadi pepatah tersebut yang kini dirasakan Rizki Rahmadianti. Meski saat pertama kali pembuatan kerudungnya tidak memiliki tenaga kerja, tapi dia tetap berani menggarapnya.

Perlahan tapi pasti usahanya pun kini semakin tumbuh hingga akhirnya bisa mempekerjakan sekitar 80 karyawan baik tetangga, teman dan kenalan lainnya. Dari jumlah tenaga kerja itu, 30 orang di antaranya sebagai karyawan tetap, dan 50 lainnya karyawan lepas.
Bahkan, menjelang Lebaran seperti sekarang, Rizki mau tidak mau harus menambah stok bahan baku dan tenaga kerja lepasnya karena pesanan kerudungnya meningkat 100 persen bahkan hingga 200 persen.

Pada hari biasa yang jauh dari momen puasa dan Lebaran, Rizki bisa memproduksi jilbab rata-rata 3.000 potong per bulan. Seperti usaha-usaha lainnya, pada mulanya Rizki sempat kesulitan memasarkan produk karena harus memasarkan ke toko-toko dan bersaing dengan produk lain. Harga yang dipatok Rp20 ribu per potong dianggap mahal. Namun, setelah membuka keagenan dengan sistem online, kini upaya memasarkan produk bukan lagi hal yang sulit.

Dia memanfaatkan agen serta jaringan distribusi lainnya diyakini lebih menguntungkan. Meski demikian, Rizki tidak mematok harga penjualan semurah mungkin untuk setiap potong jilbabnya. Namun, dia bisa memberikan diskon jika agen atau distributor membeli produknya dengan nilai minimal Rp6 juta.”Diskonnya tidak per potong, tapi per jumlah pembelian. Misalnya kalau pembelian minimal Rp6 juta akan diberi diskon sampai 40 persen, kalau pembelian Rp200 ribu, diskonnya cuma 5 persen,” katanya.

Memanfaatkan sistem pemasaran online membuat bisnis tersebut tanpa batas. Pasar jilbab yang mampu ditembus Rizki tak sebatas pasar domestik. Dia juga pernah mengecap manisnya ekspor produk buatannya, ke Hong Kong dan Malaysia.“Permintaan ke Hong Kong sudah ada. Mungkin nanti saya akan jajaki ke Malaysia dan kantong-kantong TKI (Tenaga Kerja Indonesia) lainnya.

Untuk mengembangkan pasar ekspor, saya minta difasilitasi Dinas Perindustrian dan Perdagangan Jatim melalui P3ED (Pusat Pelatihan dan Promosi Ekspor Daerah),” ujarnya. Kendati demikian, pasang surut usaha tak jarang dirasakannya. Terlebih lagi di akhir 2009 ketika semakin banyak pemain di bidang yang sama.

“Permintaannya mulai stag di 2009, bahkan awal 2010 pesanan menurun.Tapi terus saya siasati dengan membuat desain yang inovatif,” katanya. Hasilnya, kini omzet Rp60–70 juta per bulan mampu diperolehnya. Dari jumlah tersebut, 20 persen di antaranya merupakan keuntungan bersih.

Diversifikasi Usaha

Pada awal usahanya, Rizki memilih nama Ananda sebagai merek buat produk buatannya. Namun,ketika berupaya mematenkan merek tersebut, ternyata ada warga Bekasi, Jawa Barat, yang lebih dulu menggunakan dan mematenkan merek Ananda.

Karena ingin jilbab kreasinya mendapat hak paten, Rizki lalu menggunakan nama Rizhani sebagai brandbaru.

Akibatnya penjualannya sempat drop karena ganti nama. Beruntung kini omzet kerudung merek Rizhani yang sudah dipatenkan kembali meningkat. Kini Rizki juga tak sebatas membuat aneka kerudung saja.Seiring bergulirnya waktu dia juga membuat busana muslim, berupa kaos lengan panjang. Dalam sehari dia bisa memproduksi 200 kaos kreasinya. ”Obsesi saya ke depan ingin membuat seluruh busana, mulai kaki sampai kepala,” tandasnya. (adn)
(Soeprayitno/Koran SI/rhs)


http://economy.okezone.com/read/2010/07/18/22/354007/22/berawal-keisengan-kini-bisnis-jilbabnya-beromzet-puluhan-juta

Si Workaholic yang Jadikan Karyawan Aset Perusahaan


Foto: Heru Haryono/okezone.com
Bagi Ali Utomo, Presiden Direktur (Presdir) PT Arezda Purnama Loka, kemampuan perusahaan untuk maju dan berkembang tak bisa dilepaskan dari peran karyawan dan masyarakat di sekelilingnya.

Mengingat kontribusi besar karyawan dan masyarakat itulah, sebagai balasannya Ali Utomo berusaha memberikan apresiasi sepadan kepada mereka.

Beragam program untuk karyawan dan bantuan sosial kepada masyarakat melalui corporate social responsibility (CSR) dirancang PT Arezda Purnama Loka. Kepada para karyawan yang senantiasa menjadi tulang punggung produksi perusahaannya, Ali beberapa kali menggelar program-program untuk membantu perekonomian mereka.

Di antaranya kredit lunak kepemilikan sepeda motor, bazar murah untuk keluarga karyawan dan memberangkatkan haji setiap tahun bagi karyawan berprestasi.

“Karyawan kami berjumlah 300 orang, dari engineer sampai tukang kebun. Bagi kami mereka adalah aset paling berharga. Jadi, sudah sepantasnya bagi kami memberikan yang terbaik kepada mereka,” terang Ali Utomo yang ditemui belum lama ini.

Selain kepada karyawan, PT Arezda Purnama Loka juga memberikan bantuan kepada masyarakat yang tinggal di sekitar pabrik melalui program CSR.

Warga yang tinggal di sekitar pabrik di Citeureup, Bogor, Jawa Barat mendapatkan bantuan pendidikan, pembagian sembako, pembangunan jalan dan tempat ibadah,serta pembagian susu bagi balita.

“Kami membangun sekolah, musala, jalan, dan memberikan bantuan makanan bagi warga sekitar pabrik. Semua itu kami lakukan karena mereka adalah bagian tak terpisahkan dari maju mundurnya perusahaan,” tutur Ali.

Untuk semua program sosial bagi karyawan dan warga sekitarnya, Ali mengambil 30 persen dari omzet perusahaan yang bernilai Rp50 miliar-Rp60 miliar per tahun. Pria kelahiran Medan, 2 Desember 1949 ini menceritakan, kemajuan yang ditorehkan perusahaannya juga tak lepas dari peran Mandiri Business Banking.

Pada 1974, Ali menjadi nasabah Bank Bumi Daya, bank yang selanjutnya dimerger menjadi Bank Mandiri. “Saya mungkin salah satu nasabah terlama Mandiri Business Banking. Sejak saya pulang ke Indonesia sekira 1974, saya tidak pernah pindah-pindah bank sampai sekarang,” ujar lulusan metalurgi dari salah satu universitas di Taiwan tersebut.

Ali mengaku tak berpindah ke bank lain karena sudah merasa cocok dengan pelayanan, kontribusi, dan kerja sama yang selama ini terbangun dengan Mandiri Business Banking. Selama puluhan tahun bermitra, Ali menangkap ada perubahan besar pada tubuh bank ini.

Sekarang, kata dia, pimpinan Bank Mandiri tak lagi kaku, mau turun ke lapangan menjemput bola menemui nasabahnya. “Saya pikir ini adalah perkembangan positif dari sebuah bank pelat merah di mana pimpinannya tak lagi seperti birokrat, tapi mau membuka wawasannya terhadap kami para pemain di sektor swasta,” terangnya.



Jangan ketinggalan berita tentang Piala Dunia 2010, hanya di Okezone.com


PT Arezda Purnama Loka yang memproduksi di antaranya sealing products, finned tubes, pressure vessels, jointing sheets dan rubber untuk perusahaan-perusahaan perminyakan, kimia energi, dan lainnya, berdiri pada 1982.

Ali Utomo mendirikan perusahaan tersebut setelah sejak 1974 menjadi agen produk sejenis di dalam negeri. Pria yang mengaku gila kerja itu menceritakan, sebelum menjadi agen produk sejenis di dalam negeri.

Selepas menyelesaikan pendidikannya di Taiwan, dia juga sempat bekerja paruh waktu di perusahaan serupa di Amerika Serikat. Dari sanalah, Ali menemukan ide mendirikan pabrik untuk produk serupa di Indonesia.

“Kalau soal penemuan ide dan teknologi orang asing memang jagonya. Tapi untuk penguasaan teknologi, saya pikir bangsa ini mampu melakukannya,” kata Ali mengungkapkan motivasinya ketika mendirikan perusahaan.

Kata-kata Ali bahwa bangsa ini mampu dalam hal penguasaan teknologi terbukti benar. Selang 28 tahun setelah PT Arezda Purnama Loka berdiri, perusahaannya menjadi salah satu yang terbesar di sektor tersebut. Yang lebih membanggakan lagi adalah 70 persen bahan-bahannya telah menggunakan muatan lokal.

PT Arezda Purnama Loka pun mampu meyakinkan dan menggandeng perusahaan-perusahaan besar seperti Pertamina, Pupuk Kujang, Petrokimia, Chevron hingga Conoco untuk menggunakan produk-produknya.

Perkembangan PT Arezda Purnama Loka pun bisa dilihat dari luas areal pabrik yang sekarang dimiliki. Kalau pada awal-awal pendirian hanya seluas 400 meter persegi sekarang telah menjadi enam hektare.

Ali mengakui, ke depan, tantangan yang dihadapi usahanya akan semakin berat. Baik berupa tantangan internal antara lain kebijakan-kebijakan pemerintah yang kontraproduktif seperti perizinan, kenaikan tarif dasar listrik (TDL) dan lainnya maupun tantangan eksternal dengan munculnya kompetitor baru.

Menyikapi hal tersebut, pengagum berat almarhum KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur tersebut mengaku siap menghadapinya. Bahkan dia tak takut apabila ada karyawannya yang menjadi kompetitor.

“Dulu sebagai seorang engineer saya memang egois. Sulit berbagi ilmu. Tapi, sekarang saya terbuka. Justru kalau ada kompetitor saya semakin tergugah lagi untuk lebih maju,” ujarnya.

Pria yang juga amat terkesan dengan ungkapan mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Syafii Maarif (yang dalam satu kesempatan pernah mengatakan bahwa manusia juga harus belajar mencintai apa yang tak dicintainya) tersebut juga memiliki obsesi besar dalam kariernya.

Dia ingin mendirikan pabrik pipa tanpa las sebagai yang pertama dan satu-satunya yang pernah ada di Indonesia. (sugeng wahyudi)
(Koran SI/Koran SI/ade)




http://economy.okezone.com/read/2010/07/23/22/355772/22/si-workaholic-yang-jadikan-karyawan-aset-perusahaan

Diawali Jualan Ikan Asin Menuju Tanah Suci

Pengusaha Ulat Hong Kong, Hadi Rumpoko. Foto: Koran SI
Berikhtiar selama bertahun-tahun merawat dan menjual ulat Hong Kong, Hadi Rumpoko, 54, warga Kelurahan Satriyan, Kecamatan Kanigoro, Kabupaten Blitar, Jawa Timur, kini menjadi pengusaha yang berhasil.

Namun suami Hj Nurul Hayati, 49, ini tidak akan pernah lupa, kesuksesan yang diraihnya merupakan buah dari kerja keras. Sebelum menyandang status haji serta memiliki aset bernilai ratusan juta rupiah, Rumpoko hanyalah pedagang kecil yang menjual dagangannya secara obrok (keliling).

Rumpoko mengungkapkan, kesuksesan yang dia raih juga tak lepas dari bantuan Mandiri Business Banking yang selama ini memberi dukungan modal bagi usahanya.

Apalagi sebagai nasabah Kredit Usaha Rakyat (KUR), dia selalu mendapat sokongan pinjaman modal dari Mandiri Business Banking. Diakui Rumpoko, berkat bantuan modal tersebut, usaha peternakan ulat Hong Kong yang dia geluti maju pesat.

Usaha ini mampu mendatangkan rezeki ratusan juta rupiah setiap bulannya. ”Mandiri Business Banking sangat membantu usaha saya,” terang Rumpoko tanpa mau menyebut omzetnya secara terperinci.

Mengilas balik perjuangannya, terbayang jelas di mata Rumpoko,setiap pagi dia dan sang istri harus membungkusi ikan asin, terasi, garam, dan gula. Selanjutnya, semua bahan untuk memasak itu ditempatkan di dua keranjang bambu yang sebelumnya sudah terpasang di sepeda onthel miliknya.

Mata pencaharian itu dia tekuni selama dua sampai tiga tahun pada 1980-an. Itu setelah usaha perkebunan tebu yang dia geluti bangkrut. Bagi ayah Nur Isna Kusumastuti,21,dan Nurega, 13, ini, hidup tidak boleh menyerah dengan keadaan sesulit apa pun.

Dia bahkan sempat menjadi tenaga kerja Indonesia (TKI) di Malaysia. Namun dia memilih kembali ke Blitar karena tidak bisa berpisah lama dengan keluarga.

Dia lalu memulai menjadi pedagang obrok. Keuletan serta semangat disiplin tinggi membuat usahanya berkembang. Rumpoko bisa membeli sepeda motor dan dia gunakan untuk berjualan menggantikan sepedanya.

Semangat pantang menyerah dan berani mencoba mendorong Rumpoko melirik usaha lain dengan harapan bisa meraih keuntungan yang lebih besar. Masih bekerja sebagai pedagang obrok, Rumpoko mengalihkan sebagian modalnya untuk memproduksi minuman limun.

Dia lalu membeli satu mobil pick up untuk angkutan distribusi produk limunnya. ”Ini berlangsung pada 1984-1986,” terang Rumpoko. Distribusi limun itu menjangkau sebagian daerah Kabupaten Nganjuk, Jombang, Mojokerto, Blitar, dan Kediri.

Rumpoko pun beralih usaha dari pedagang obrok menjadi penjual limun. Dari rutinitasnya mengantarkan sendiri limun ke sejumlah konsumen, Rumpoko mengenal ulat Hong Kong dari salah seorang warga di Kabupaten Malang.

Rumpoko tertarik dengan usaha yang menurut penglihatannya sederhana sekaligus menjanjikan keuntungan lebih dibandingkan menjual limun. Tahun 1987, bersama sang kakak bernama Puji Purwanto, Rumpoko mencoba membeli bibit ulat di Pasuruan.Kurangnya modal membuat Rumpoko terpaksa menjual perhiasan emas milik istrinya.

”Saat itu saya beli 70 kg bibit ulat dengan harga Rp40.000/kg. Saya jual kalung istri saya dengan harga Rp700.000,” terangnya.

Minim kemampuan dan lemah dalam pengelolalan, ditambah harga bibit ulat hong kong sedang merosot, membuat usaha yang baru dirintis selama enam bulan itu berantakan.

Selain harga bibit jatuh menjadi Rp1.500/kg, banyak bibit yang mati saat proses pemeliharaan. Sebab semuanya dikerjakan oleh Rumpoko secara autodidak. Kegagalan tak membuat Rumpoko patah arang. Setelah sempat terhenti, dia kembali mencoba usaha peternakan ulat Hong Kong.

Sebanyak 20 kg bibit dia beli senilai Rp800.000. Sedikit demi sedikit keuntungan berhasil diraih Rumpoko. Keuntungan yang diperoleh hampir seluruhnya digunakan untuk mengembangkan ulat.

Dengan optimistis dia menggeser produksi limun hanya sebagai pekerjaan sampingan. Setiap bulan Rumpoko secara rutin melayani pesanan ulat Hong Kong sebanyak 11 ton. Permintaan datang dari Jawa Barat, Kudus (Jateng), Pasuruan (Jatim), Surabaya, dan Jakarta.

”Informasinya ulat ini diekspor ke Amerika dan Jepang untuk makanan ular dan kura-kura. Kalau di sini biasanya untuk makan burung ocehan,” jelasnya.

Dia membeli ulat dari petani seharga Rp28.000/kg dan dijual Rp30.000/kg. Rata-rata transaksi yang dia lakukan setiap minggu berkisar Rp25 juta-Rp30 juta. Untuk biaya perawatan sekaligus pakan ulat Hong Kong sebelum dikirim ke penjual, Rumpoko menghabiskan biaya Rp5 juta per minggu.

Dari hasil usaha yang terus berkembang, Rumpoko bersama istrinya, Nurul Hayati, bertolak ke Tanah Suci untuk menunaikan ibadah haji pada 2007. Dia juga membeli tanah yang di atasnya kini dibangun tempat tinggalnya. ”Saya juga membeli mobil dan mampu menyekolahkan anak sampai universitas di Surabaya,” ungkapnya.

Seiring meningkatnya usaha, musibah datang menghampiri. Hubungan arus pendek listrik di tempat pemeliharaan ulat menghanguskan hampir seluruh bangunan.

Untung, api berhasil dipadamkan sebelum menjalar ke rumah induk yang berjarak hanya beberapa meter. ”Itu terjadi tahun 2009,” katanya.

Meski cukup membuat shock, musibah itu tidak sampai mengganggu kelancaran usahanya. Apalagi setelah kembali mendapat pinjaman dana dari Mandiri Business Banking, Rumpoko makin optimistis bisa mengembangkan usahanya lebih besar. Jumlah karyawan yang sebelumnya hanya lima orang kini menjadi 10 orang.

Untuk menjaga hubungan sosial di lingkungan terdekatnya, Rumpoko juga menggunakan modal pinjaman dari Mandiri Business Banking untuk menolong warga miskin dengan cara memberi pinjaman dengan bunga lunak.

Sebab, tidak semua warga mengetahui cara-cara meminjam uang di bank. Rumpoko mengatakan, ada sejumlah kepala keluarga yang sebelumnya menganggur kini menekuni pekerjaan setelah memperoleh manfaat dari separuh pinjaman modal dari Mandiri Business Banking.

Bagi Rumpoko, kucuran modal dari Mandiri Business Banking sangat membantu usaha mikro kecil menengah di lingkungan terdekatnya.” Rata-rata untuk usaha ternak kambing. Nominalnya bervariasi, ada yang Rp5 juta hingga Rp10 juta,” ujarnya. Saat ini dia hanya mengawasi kinerja anak buah selain menjaga hubungan baik dengan mitra kerja.

Kendati demikian, tebersit di pikirannya untuk membuka usaha lain yang bisa menghasilkan keuntungan lebih besar. ”Kalau ditanya cita-cita, saat ini saya ingin membuka usaha dealer motor. Kalau memang ada cukup dana, termasuk pinjaman dari Mandiri Business Banking, saya akan mencobanya,” tandas Rumpoko. (solichan arif)
(Koran SI/Koran SI/ade)


http://economy.okezone.com/read/2010/07/22/22/355368/22/diawali-jualan-ikan-asin-menuju-tanah-suci

Rabu, 28 Juli 2010

Usahanya Berawal dari Sebuah Kisah Asmara

Foto: Rani Hardjanti/okezone
Kisah asmara berujung pada pernikahan dan berdirinya sebuah usaha. Itulah jalan yang dilalui Priscilla Herawati, pemilik usaha batik KRT Daud Wiryo Hadinagoro dan Ny Indo.

Masa pacaran bagi kebanyakan pasangan kekasih umumnya digunakan sebagai ajang mengenal lebih dekat satu dengan lainnya, untuk bersenang-senang, dan untuk hal-hal yang bersifat rekreatif lainnya.

Namun, Priscilla Herawati memiliki gaya pacaran tersendiri. Bersama pasangannya, Moses Adya Saputro, yang sekarang telah menjadi suaminya, Priscilla menjadikan masa pacaran justru sebagai sarana belajar berbisnis.

Waktu-waktu pacaran Priscilla dan Moses dihabiskan untuk mempelajari seluk-beluk dunia usaha. Seolah telah berjodoh, keduanya menjalaninya dengan penuh ketekunan dan saling menguatkan. Hingga pada 1998, Priscilla dan Moses mengawali bisnis batik.

Ketika mengawali bisnis ini, mereka mendapat pinjaman barang tanpa agunan dari seorang pengusaha batik Solo yang bangkrut senilai Rp30 juta. ”Kebetulan pengusaha itu teman calon mertua,” kenang Priscilla ketika ditemui belum lama ini.

Dari modal pinjaman barang tersebut, Priscilla dan Moses menjualnya secara door to door, dari orang ke orang,dari satu rumah ke rumah lainnya. ”Ya pokoknya yang penting dagangan terjual, kami bisa setor uang yang ngasih pinjaman barang,” tutur Priscilla.

Tak terlalu lama, usaha Priscilla dan Moses berkembang. Di tahun yang sama, pasangan yang mengaku berkenalan pada sebuah kegiatan peribadatan di gereja ini telah mampu memasarkan produknya di sebuah hotel di Yogyakarta.

Pada 2000, mereka juga telah mampu memproduksi kain batik sendiri tanpa harus mengambil barang dari orang lain. Priscilla mengatakan, mereka juga telah mampu merekrut karyawan meski baru satu orang.

Selang setahun setelah memproduksi kain batik sendiri, pasangan kekasih ini akhirnya memutuskan menikah pada 2001. Pada 2002, anak pertama mereka bernama Michelle Nadya Saputra lahir.

Kehadiran buah hati turut mengangkat perkembangan usaha mereka. Perkembangan usaha batik yang dikelola Priscilla dan Moses dengan mengambil brand KRT Daud Wiryo Hadinagoro untuk produk premium dan Ny Indo untuk produk reguler makin moncer ketika mereka berkenalan dengan Mandiri Business Banking.

Priscilla yang mengaku awalnya antiperbankan mengatakan, bantuan modal usaha yang dikucurkan Mandiri Business Banking terbukti ampuh mendongkrak usahanya. Melalui modal usaha tersebut, mereka mengembangkan usahanya dari skala kecil menuju skala industri.

Mandiri Business Banking, tutur perempuan yang kini tengah mengandung anak keduanya tersebut, membuat usahanya semakin dinamis. Melalui kucuran dana dari Mandiri Business Banking, usahanya yang berawal dari bisnis kecil kini bertambah besar dengan jumlah karyawan mencapai 250 orang.

Priscilla mengaku,selama menjadi nasabah Mandiri Business Banking, dia terkesan dengan sikap yang ditunjukkan manajemen. Menurutnya, pihak manajemen Mandiri Business Banking bersikap ramah, kekeluargaan, dan mau langsung turun melihat usaha yang dijalankannya.

Dengan Mandiri Business Banking, Priscilla juga mengaku bisa mengembangkan pelayanan dan pengembangan produk premium untuk pelanggan pejabat, pengusaha, ekspatriat, dan tokoh-tokoh nasional lain serta memenuhi kebutuhan ready to wear untuk kalangan umum.

”Saya sih merasa terbantu dengan adanya bantuan modal dari Mandiri Business Banking,” terang Priscilla. Satu hal yang membuat produk batik KRT Daud Wiryo Hadinagoro dan Ny Indo yang memiliki show room di Hyatt Regency, Yogyakarta dan Belezza Shopping Arcade G-53-55, Arteri Permata Hijau, Jakarta Selatan ini berbeda terletak pada kualitas produk yang ditawarkan.

Menggunakan bahan tenun sutera yang dikerjakan oleh tangantangan terampil perajin Yogyakarta dan Solo, istilahnya dikenal sebagai seni tenun sutera tangan, kualitas produk batik yang ditawarkan memang begitu eksklusif.

Cita rasa seni yang tinggi juga tecermin dari perpaduan warna, minimal menggunakan delapan warna, serta desain produk yang dikerjakan setelah lebih dulu melalui serangkaian riset.

”Untuk pengembangan produk, kami memang senantiasa melakukan riset terlebih dahulu,” tutur Priscilla. Lantaran mengunggulkan kualitas, eksklusivitas, dan cita rasa seni yang tinggi, kapasitas produksi usaha Priscilla pun tak banyak.

Tiap minggu paling banyak mereka mampu memproduksi 15-an sarimbit dengan satu sarimbit terdiri atas tiga pieces bahan berupa kain sarung, selendang, dan bahan kemeja. Harga jualnya berkisar antara Rp2,5 juta-27,5 juta untuk produk premium dan Rp500 ribu-Rp15 juta untuk produk reguler.

Perempuan yang memegang prinsip bersyukur, kerja keras, pantang mengeluh,dan selalu rendah hati dalam menjalankan roda bisnisnya ini mengaku masih memiliki obsesi lain meski kini usahanya yang dirintis dari nol bisa dikatakan tengah merasakan manisnya madu keberhasilan. Ke depan dia ingin memiliki semacam museum batik tersendiri.

Apalagi batik kini menjadi salah satu warisan leluhur budaya bangsa yang telah diakui UNESCO. ”Saya bersama suami berangan-angan bisa mengembangkan bisnis secara idealis dengan pembuatan museum atau koleksi sekaligus batik untuk skala komersial,” tutur Priscilla yang mengaku memiliki koleksi satu kain batik yang dikerjakan selama lebih dari setahun dengan kombinasi 40-an warna. (sugeng wahyudi)
(Koran SI/Koran SI/ade)


http://economy.okezone.com/read/2010/07/26/22/356590/22/usahanya-berawal-dari-sebuah-kisah-asmara

Mantan Pemulung yang Kini Memiliki Pabrik

Foto: Koran SI
Kucuran keringat dan rasa malu menjadi pemulung tak dia hiraukan karena keyakinan untuk meraih sukses.

Menjadi mahasiswa jurusan Kimia, Institut Teknologi Bandung (ITB), tak membuat John Pieter malu dan risih untuk memungut serta mengumpulkan sampah plastik yang banyak berserakan di belakang kosnya di kawasan Geger Kalong Tengah, Kota Bandung, Jawa Barat.

Sampah-sampah plastik itulah yang menginspirasinya untuk membuka usaha pada 1987. Pada awal memulai usaha John berpikiran, jika dibandingkan harga gabah yang saat itu Rp600 per kg, harga limbah plastik di tingkat pengepul sudah mencapai Rp1.000 per kg.

Saat itu dia memantapkan diri untuk memulai bisnis daur ulang sampah plastik sambil tetap kuliah. Menurut John, seorang pengusaha sejati harus memiliki sifat visioner, memandang jauh ke depan, ditambah keyakinan diri pada usaha yang dilakukannya.

“Melihat perbandingan harganya yang begitu besar, saat itu saya yakin bisnis ini akan menghasilkan potensi besar. Dan perlu diingat, untuk menjalankannya bisnis ini tidak memerlukan modal sama sekali. Hanya dengan catatan, buang jauh-jauh perasaan malu,” tandas John saat ditemui di ruang kerjanya di Cipamokolan, Kota Bandung, belum lama ini.

Dibarengi kerja keras dan tak kenal lelah,usahanya makin maju. Hingga suatu hari ada surat kabar nasional memberitakan sosok John sebagai pengusaha sukses yang berangkat dari pemulung sampah plastik.

Hal ini berlanjut dengan adanya tawaran kucuran modal dari Mandiri Business Banking. Sejak saat itu John resmi menjadi nasabah Mandiri Business Banking.

“Modal yang saya terima benar-benar saya gunakan untuk menjalankan roda bisnis. Saat menerima kucuran modal itu, saya sudah memiliki mesin pengolah sampah dan sarana pendukungnya hingga tempat usaha. Jadi, saya berani menerima ajakan untuk bermitra dari Mandiri Business Banking sehingga kredit modal itu bisa digunakan secara optimal,” papar John.

Dengan bantuan modal dari Mandiri Business Banking, usaha John yang menggunakan nama Peka Group semakin berkibar. Biji plastik hasil olahannya menjadi primadona pengusaha yang banyak bergerak di bidang home industry.

“Mereka membeli produk saya untuk berbagai keperluan seperti bahan baku pembuatan tali plastik, tali rafia, helm, alat-alat rumah tangga, dan lainnya,” tutur ayah dari Yediza dan Ishak ini.

Keyakinan John menggeluti bisnis pengolahan sampah plastik semakin kuat karena keinginannya untuk menjadi orang kaya. “Saya berpikiran, jika jadi pekerja, meskipun lulusan dari kampus ternama, tidak berarti memberikan jaminan bisa menjadi orang kaya. Di pikiran saya hanyalah bagaimana caranya menjadi orang kaya melalui jalan yang benar,” ungkapnya.

John merasakan betul bagaimana aktivitasnya mengumpulkan satu per satu sampah plastik di halaman kosnya untuk dijual kepada pengepul. John mengungkapkan, kedua orang tuanya yang tinggal di Sumatera tidak mengetahui jika anaknya menjadi pemulung selepas kuliah.

“Tetapi, saat bertandang ke Bandung, orang tua saya pun akhirnya tahu jika selama ini saya menjadi pemulung. Saat melihat apa yang saya lakukan, mereka menangis karena sedikit pun tidak pernah terlintas dalam pikiran kedua orang tua saya jika anaknya harus memunguti sampah,” tutur lelaki asal Tanah Karo, Sumatera Utara itu.

Namun, hal itu tak menyurutkan langkah John untuk menekuni usaha yang telah dia rintis. Usahanya sedikit demi sedikit terus mengalami kemajuan dan dia memberanikan diri meminjam modal pada temannya sebesar Rp4 juta.

Dengan modal tersebut, akhirnya John menjadi seorang pengepul dan memindahkan tempat usahanya ke kawasan Cikutra, Kota Bandung. Di Cikutra John menyiapkan tempat khusus yang bisa ditinggali pemulung.

Namun, dia sering meninggalkan tempat usahanya karena harus kuliah dan kadang mengajar. Untuk itu, dia pun memercayakan kepada seseorang.

“Tanpa sepengetahuan saya, ternyata pemulung yang kerap tidur dan makan bersama itu menohok dari belakang. Sampah plastik yang sudah saya bayar kembali diambil. Modal saya pun habis,” kenangnya.

Kegagalan itu diakui John sebagai pengalaman paling berharga. Sebab, sejak kejadian itu, dia memutuskan untuk fokus menekuni bisnisnya. Aktivitas mengajar pun akhirnya dia lepaskan dan tempat usaha tersebut hanya ditinggalkan saat John kuliah.

John pun memantapkan diri menjadi pengusaha limbah plastik. Bisnis jual beli limbah plastiknya terus berkembang hingga bisa mempekerjakan tiga orang karyawan. Sadar usahanya terus berkembang pesat, setelah menyelesaikan kuliah John benar-benar tak ingin mencari pekerjaan sesuai ilmu yang dia peroleh di ITB.

Suami Ninik Maryani ini tetap berkeyakinan, usaha limbah plastik bisa mengantarkannya menjadi orang kaya. Selama ini John selalu berusaha menghasilkan produk yang berkualitas. Diawali dengan pemilahan, sampah plastik mengalami beberapa kali proses pembersihan untuk menghilangkan kotoran yang menempel.

Setelah itu, sampah plastik itu dipotong-potong kecil hingga akhirnya kembali dipisahkan berdasarkan titik lelehan melalui proses pemanasan. Ditanya nilai omzetnya kini, John tidak bersedia mengungkapkan. Begitu pula dengan total aset yang dia miliki. “Lumayan lah, yang pasti usaha ini hingga kini terus berkembang,” kata John singkat.

Kini, setelah lebih dari 20 tahun menjalankan usaha limbah plastik, John menyerahkan kepada orang-orang kepercayaannya untuk mengelola. John juga telah membuka cabang usaha biji plastik di Makassar, Medan, dan Banjarmasin.

Selain itu, dia juga mendirikan pabrik pengolahan biji plastik di kawasan Bantar Gebang, Bekasi, Jawa Barat. “Hasil produksi di beberapa daerah tersebut semua dikirim ke Bantar Gebang,” katanya.

Banyaknya cabang itu sampai membuat John tak tahu persis berapa jumlah seluruh karyawannya. Tidak ketinggalan, John melibatkan sang istri yang juga teman satu almamaternya ikut berperan dalam memajukan usaha limbah plastik.

Bahkan, sejak tiga tahun lalu Ninik mengelola sebuah koperasi mikro yang bisa memberikan pinjaman modal usaha bagi para pemulung dan warga biasa dengan bunga sangat rendah. Selain itu, John dan istrinya memberikan pelatihan kewirausahaan kepada pemulung dan warga sekitarnya. (agung bakti sarasa)
(Koran SI/Koran SI/ade)



http://economy.okezone.com/read/2010/07/27/22/356849/22/mantan-pemulung-yang-kini-memiliki-pabrik

Cinta, Bikin Usahanya Bertahan & Terus Berkembang

ilustrasi. foto: Koran SI
Cinta menyimpan kekuatan luar biasa. Ina Indrawati, pemilik Wimo Shoes ini telah membuktikannya. Karena kecintaannya pada dunia sepatu, dia mampu mempertahankan usaha hingga sekarang.

“Usaha yang kami jalankan berangkat dari rasa cinta. Ketika mengawali usaha ini kami bahkan tidak pernah memikirkan soal untung karena kami mencintai apa yang kami kerjakan. Semua mengalir dan berjalan begitu saja,” kata Ina saat mengawali perbincangan di kantornya yang terletak di Jalan Kemang I No 7, Jakarta Selatan, belum lama ini.

Ibu dua anak ini mengungkapkan, eksistensi usaha sepatu yang dikelolanya tak bisa dilepaskan begitu saja dari peran Mandiri Business Banking. Meski pada awal membuka usaha menggunakan modal sendiri, dalam perkembangannya Ina mendapat bantuan dari Mandiri Business Banking.

Ina mengaku telah lama bekerja sama dengan Mandiri Business Banking. Selama itu Mandiri Business Banking memberikan dukungan agar Wimo Shoes terus maju dan berkembang. “Mandiri Business Banking terus mendorong kami untuk maju, maju, hingga seperti sekarang,” tuturnya.

Perempuan ramah ini menceritakan, usaha sepatu yang kini dia kelola pada awalnya dirintis oleh ibunya, Wiwih Reksono, pada 1966. Ibunya tertarik mengembangkan usaha sepatu karena waktu itu sebagai perempuan merasa tidak menemukan sepatu yang pas dengan kaki.

“Ibu saya merasa, tiap kali memakai sepatu kok kaki malah jadi pegal-pegal, kepala jadi pusing dan rasa tak enak lainnya,” tutur Ina.

Dari situ kemudian terpikir ide untuk membuat sepatu yang aman, nyaman, dan tetap memperhatikan aspek estetika pemakai. Kebetulan, kata Ina, ibunya adalah sosok yang amat mencintai dunia sepatu.

“Sejak kecil saya sudah dikenalkan dengan dunia sepatu oleh ibu saya. Melihat sepatu berserakan di atas meja tamu atau meja makan bagi saya adalah pemandangan biasa,” beber Ina yang mengaku banyak belajar dari ibunya soal dunia sepatu sebagai bekal mengelola usaha.

Berangkat dari kecintaan terhadap dunia sepatu dibarengi rasa ingin mengembangkan sepatu sebagaimana produk mode lain yang bergerak dinamis, Ina mengatakan, ibunya belajar sungguh-sungguh menciptakan produk sepatu berkualitas.

Dari proses belajar tersebut jalan mulai terbuka. Ina mengungkapkan bahwa ibunya berhasil membuat sepatu-sepatu dengan model menarik, tapi tetap memperhatikan aspek kenyamanan pemakai. Meski demikian, tak mudah memang memulai sesuatu.

“Banyak juga yang mencibir dan memandang sebelah mata,” ungkapnya. Namun karena semua dikerjakan dengan rasa cinta, tantangan seperti apa pun mampu dia lewati.

Tanpa mengenal kata menyerah, upaya untuk mengenalkan produk terus dilakukan. Dari mulut ke mulut, dari satu pintu ke pintu rumah yang lain, hingga akhirnya Wimo dapat bertahan sampai detik ini.

“Tak terasa usaha yang dirintis oleh ibu saya dari nol sekarang telah berusia 44 tahun. Apalagi yang membuat usaha ini eksis sampai sekarang kalau tidak karena kekuatan cinta?” ujar Ina.

Sebagai penerus usaha, Ina mengaku akan berupaya mengemban amanat sebaik mungkin. Dalam perjalanannya, Wimo Shoes, yang mengkhususkan produksinya dengan membuat sepatu bagi kaum hawa dari anak-anak hingga usia senja, melakukan sebuah terobosan.

Wimo Shoes memproduksi sepatu kesehatan dengan teknologi ortho. “Kami mungkin satu-satunya di Asia yang membuat customized sepatu fashion dengan teknologi ortho,” kata perempuan yang memiliki hobi dansa ini.

Dengan teknologi ortho konsumen bisa membuat sepatu yang sesuai dengan bentuk kaki, struktur tulang, dan berat badan.Teknologi ortho juga memungkinkan orang yang memiliki masalah dengan kaki, cacat, dan sebagainya memiliki sepatu yang pas dengan kakinya.

Teknologi yang telah marak di luar negeri tapi baru diperkenalkan Wimo Shoes setahun belakangan ini ternyata mendapat sambutan positif. Telah banyak pelanggan Ina yang memanfaatkan teknologi ini. “Karena kami juga melayani pembuatan customized,” ujarnya.

Melalui teknologi ortho, Wimo Shoes berharap dapat lebih banyak lagi membantu orang lain yang memiliki masalah dengan kaki. “Belum lama ini kami membuatkan sepatu untuk orang cacat. Dia tak memiliki sepatu sejak kecil. Senang rasanya bisa berbagi,” ujar Ina.

Melalui penggabungan produk antara mode, kesehatan, dan seni, perempuan yang memiliki motto hidup ingin melakukan yang terbaik dengan segala yang dilakukan, ini bertekad produknya dapat bersaing dengan produk-produk luar negeri. “Bangsa ini mampu kok bersaing,”ujarnya,sangat yakin. (sugeng wahyudi)
(Koran SI/Koran SI/ade)


http://economy.okezone.com/read/2010/07/29/22/357633/cinta-bikin-usahanya-bertahan-terus-berkembang

Selasa, 27 Juli 2010

Asal Usul Nama Perusahaan IT Dunia

-HP
Spoiler for gbr:

Pendiri Hewlett-Packard, Bill Hewlett dan Dave Packard sempat berdebat untuk memberikan nama perusahaan, apakah akan menjadi Hewlett-Packard, atau Packard-Hewlett. Akhirnya mereka berdua mengundinya dengan sebuah koin.


- Sun Microsystems
Spoiler for gbr:

Para pendiri Sun : Bill Joy, Andy Bechtolsheim, Vinod Khosla, dan Scott McNealy adalah sesama mahasiswa dari Stanford University. Saat itu, Bechtolsheim mendapat proyek untuk membuatkan workstation bagi kampusnya, dan proyek itu bernama Stanford University Network. Nama itulah yang kemudian disingkat menjadi SUN.


- Cisco
Spoiler for gbr:

Pendiri perusahaan ini adalah sepasang suami istri Leonard Bosack dan Sandra Lerner. Nama Cisco sering dikira merupakan kependekan dari kata-kata tertentu. Padahal, Cisco diambil dari San Francisco yang diharapkan menjadi tempat selain Silicon Valley. Oleh karenanya, di masa awalnya, perusahaan ini selalu memaksa agar namanya ditulis dengan dengan huruf kecil semua.


- Apple
Spoiler for gbr:

Saat itu perusahaan ini sudah telat beberapa bulan untuk mendaftarkan nama dan merek dagang mereka. Lalu, salah satu dari dua pendirinya (Steve Jobs dan Steve Wozniak), Steve Jobs menantang para pendiri perusahaan lain untuk mengajukan nama yang lebih baik dari ‘Apple’. Apple sendiri adalah buah kesukaan Jobs. Akhirnya nama yang diajukan oleh Steve Jobs-lah yang kemudian dipilih.


- Intel
Spoiler for gbr:

Dua pendiri perusahaan ini, yakni Bob Noyce dan Gordon Moore, sebenarnya ingin menamakan perusahaan dengan kombinasi dua nama mereka ‘Moore Noyce’. Sayang, nama itu sudah didaftarkan sebagai merek dagang dari jaringan hotel. Akhirnya mereka memberi alternatif kedua, dengan menamakan perusahaan mereka sebagai kependekan dari INTegrated ELectronics, atau INTEL.


- Microsoft
Spoiler for gbr:

Nama perusahaan ini merupakan kependekan dari MICROcomputer SOFTware. Dari nama yang ia buat, terlihat jelas bahwa pendiri perusahaan Bill Gates dan Paul Allen sudah sangat yakin akan potensi dari bisnis software. Sebab pada saat itu komputer merupakan teknologi yang sangat baru dan bisnis software bukanlah bisnis yang sudah berkembang.


- Adobe
Spoiler for gbr:

Walaupun Adobe berarti bata atau batako, tapi asal nama Adobe bukan terinspirasi oleh bata. Melainkan, karena salah seorang pendiri (Charles Geschke dan John Warnock) perusahaan ini, John Warnock, memiliki rumah di Adobe Creek, sebuah sungai di Los Altos, California.


- Oracle
Spoiler for gbr:

Salah satu produk awal yang dikerjakan oleh pendiri perusahaan Larry Ellison, Bob Miner dan Ed Oats, adalah aplikasi RDBMS, yang merupakan proyek pesanan CIA. Proyek ini diberi nama kode ‘Oracle’ karena diharapkan bisa menjawab segala macam jenis pertanyaan menyangkut segala hal tentang kehidupan. Belakangan CIA menghentikan proyek ini, namun Ellison dan Oats meneruskannya dan menjadikan nama proyek itu menjadi nama perusahaan.


- Sony
Spoiler for gbr:

Salah satu pendiri (Masaru Ibuka dan Akio Morita) perusahaan ini, Akio Morita, menginginkan nama yang tak asing bagi konsumen target mereka, Amerika Serikat. Nama Sony sendiri merupakan turunan dari kata Latin ‘Sonus’ yang artinya adalah suara.Selain itu, nama itu juga berasal dari kata Slang ‘Sonny Boy’ yang pada tahun 1950-an di Jepang bermakna ‘Anak muda yang cerdas dan tampan’. Begitulah Akio Morita memandang dirinya sendiri.


- Yahoo
Spoiler for gbr:

Nama perusahaan ini dipilih oleh Jerry Yang dan David Filo, merupakan kependekan dari ‘Yet Another Hierarchical Officious Oracle‘. Tak jelas apakah ‘Officious Oracle‘ yang dimaksud adalah proyek Oracle terdahulu yang sempat dikerjakan oleh Larry Ellison dan Bob Oats. Yang pasti, dua mahasiswa Stanford itu juga menyukai arti kata ‘Yahoo’ di kamus, maupun di kisah fiksi besutan Jonathan Swift berjudul Gulliver’s Travel, yang maknanya adalah ‘kasar atau tak tahu adat’.


- Google
Spoiler for gbr:

Duo pendiri, Larry Page dan Sergey Brin, awalnya menamakan perusahaan ini ‘Googol‘ yang merujuk pada bilangan 10 pangkat 100. Dua mahasiswa yang drop out dari program PhD mereka di Stanford itu, menamakannya demikian, untuk menyimbolkan proyek algoritma pemeringkat website mereka, sebagai sebuah proyek yang akan melibatkan data yang sangat masif.Tapi saat mencari investor dan bertemu dengan salah satu pendiri Sun, Andy Bechtolsheim, Nama ‘Googol’ ditulis menjadi ‘Google’ agar lebih menjual.





http://www.kaskus.us/showthread.php?t=4818161

Jual Cincin untuk Modal Bakul Ikan,kini punya 50 Pesawat Terbang

Ingin pinjam uang di Bank dianggap gila , akhirnya jual cincin dan perhiasan yg dia punya buat modal bakul ikan..

Keputusannya keluar dari sekolah saat masih berusia 17 tahun sangat disesalkan oleh kedua orang tuanya. Namun, berkat keuletan dan kerja kerasnya, kini Susi Pudjiastuti memiliki 50 pesawat dan pabrik pengolahan ikan yang berkualitas untuk melayani kebutuhan ekspor.

Namanya Susi Pudjiastuti, Presiden Direktur PT ASI Pudjiastuti yang bergerak di bidang perikanan dan PT ASI Pudjiastuti Aviation yang merupakan operator penerbangan Susi Air. Rambutnya ikal kemerahan, suaranya serak-serak, namun pembawaannya supel.

Bukan hanya bahasa Inggris fasih yang keluar dari mulutnya saat berbincang dengan para pilotnya yang bule. Susi – panggilan akrabnya – juga menggunakan bahasa Sunda dan sesekali bahasa Jawa kepada pembantu-pembantunya.

“Saya suka belajar bahasa apa aja. Yang penting bisa buat marah dan memerintah. Sebab, dengan itu, saya bisa bekerja,” ujarnya sambil lantas tertawa.

Saat ini, wanita kelahiran Pangandaran, 15 Januari 1965 tersebut, memiliki 50 unit pesawat berbagai jenis. Di antaranya adalah Grand Caravan 208B, Piaggio Avanti II, Pilatus Porter, serta Diamond DA 42. Kebanyakan pesawat itu dioperasikan di luar Jawa seperti di Papua dan Kalimantan.

“Ada yang disewa. Namun, ada yang dioperasikan sendiri oleh Susi Air. Biasanya dipakai di daerah-daerah perbatasan oleh pemda atau swasta,” jelas wanita yang betis kanannya ditato gambar burung phoenix dengan ekor menjuntai itu.

Susi tak mematok harga sewa pesawat secara khusus. Sebab, hal itu bergantung pelayanan yang diminta pihak penyewa. Biaya sewanya pun bermacam-macam, tapi rata-rata antara USD 400 sampai USD 500 per jam.

“Kadang ada yang mau USD 600 sampai USD 700 per jam. Perusahaan minyak mau bayar USD 1.000 karena beda-beda level servis yang dituntut. Untuk keperluan terbang, semua piranti disediakan Susi Air. Pesawat, pilot, maupun bahan bakar. Jadi, itu harga nett mereka tinggal bayar,” tegasnya.

Bakat bisnis Susi terlihat sejak masih belia. Pendirian dan kemauannya yang keras tergambar jelas saat usia Susi menginjak 17 tahun. Dia memutuskan keluar dari sekolah ketika kelas II SMA. Tak mau hidup dengan cara nebeng orang tua, dia mencoba hidup mandiri. Tapi, kenyataan memang tak semudah yang dibayangkan.
“Cuma bawa ijazah SMP, kalau ngelamar kerja jadi apa saya. Saya nggak mau yang biasa-biasa saja,” ujarnya.

Kerja keras pun dilakoni Susi saat itu. Mulai dari berjualan baju, bed cover, hingga hasil-hasil bumi seperti cengkeh. Setiap hari, Susi harus berkeliling Kota Pangandaran menggunakan sepeda motor untuk memasarkan barang dagangannya. Hingga, dia menyadari bahwa potensi Pangandaran adalah di bidang perikanan. “Mulailah saya pengen jualan ikan karena setiap hari lihat ratusan nelayan,” tuturnya.

Pada 1983, berbekal Rp 750 ribu hasil menjual perhiasan berupa gelang, kalung, serta cincin miliknya, Susi mengikuti jejak banyak wanita Pangandaran yang bekerja sebagai bakul ikan. Tiap pagi pada jam-jam tertentu, dia nimbrung bareng yang lain berkerumun di TPI (tempat pelelangan ikan). “Pada hari pertama, saya hanya dapat 1 kilogram ikan, dibeli sebuah resto kecil kenalan saya,” ungkapnya.

Tak cukup hanya di Pangandaran, Susi mulai berpikir meluaskan pasarnya hingga ke kota-kota besar seperti Jakarta. Dari sekadar menyewa, dia pun lantas membeli truk dengan sistem pendingin es batu dan membawa ikan-ikan segarnya ke Jakarta. “Tiap hari, pukul tiga sore, saya berangkat dari Pangandaran. Sampai di Jakarta tengah malam, lalu balik lagi ke Pangandaran,” ucapnya mengenang pekerjaan rutinnya yang berat pada masa lalu.

Meski sukses dalam bisnis, Susi mengaku gagal dalam hal asmara. Wanita pengagum tokoh Semar dalam dunia pewayangan itu menyatakan sudah tiga kali menikah. Tapi, biduk yang dia arungi bersama tiga suaminya tak sebiru dan seindah Pantai Pangandaran. Semua karam.

Dari suaminya yang terakhirlah, Christian von Strombeck, si Wonder Woman ini mendapat inspirasi untuk mengembangkan bisnis penerbangan. “Dia seorang aviation engineer,” lanjutnya.

Christian merupakan seorang ekspatriat yang pernah bekerja di IPTN (Industri Pesawat Terbang Nusantara yang sekarang bernama PT DI, Red). Awal perkenalannya dengan lelaki asal Prancis itu terjadi saat Christian sering bertandang ke Restoran Hilmans milik Susi di Pantai Pangandaran. Berawal dari perkenalan singkat, Christian akhirnya melamar Susi. “Restoran saya memang ramai. Sehari bisa 70-100 tamu,” katanya.

Dengan Christian, Susi mulai berangan-angan memiliki sebuah pesawat dengan tujuan utama mengangkut hasil perikanan ke Jakarta. Satu-satunya jalan, lanjut Susi, adalah dengan membangun landasan di desa-desa nelayan. “Jadi, tangkap ikan hari ini, sorenya sudah bisa dibawa ke Jakarta. Kan cuma sejam,” tegas ibu tiga anak dan satu cucu tersebut.

Berbeda jika harus memakai jalur darat yang bisa memakan waktu hingga sembilan jam. Sesampai di Jakarta, banyak ikan yang mati. Padahal, jika mati, harga jualnya bisa anjlok separuh.

“Kami mulai masukin business plan ke perbankan pada 2000, tapi nggak laku. Diketawain sama orang bank dan dianggap gila. ‘Mau beli pesawat USD 2 juta, bagaimana ikan sama udang bisa bayar,’ katanya,” ujar Susi.

Barulah pada 2004, Bank Mandiri percaya dan memberi pinjaman sebesar USD 4,7 juta (sekitar Rp 47 miliar) untuk membangun landasan, serta membeli dua pesawat Cessna Grand Caravan. Namun, baru sebulan dipakai, terjadi bencana tsunami di Aceh. “Tanggal 27 kami berangkatkan satu pesawat untuk bantu. Itu jadi pesawat pertama yang mendarat di Meulaboh. Tanggal 28 kami masuk satu lagi. Kami bawa beras, mi instan, air dan tenda-tenda,” ungkapnya.

Awalnya, Susi berniat membantu distribusi bahan pokok secara gratis selama dua minggu saja. Tapi, ketika hendak balik, banyak lembaga non-pemerintah yang memintanya tetap berpartisipasi dalam recovery di Aceh. “Mereka mau bayar sewa pesawat kami. Satu setengah tahun kami kerja di sana. Dari situ, Susi Air bisa beli satu pesawat lagi,” jelasnya.

Perkembangan bisnis sewa pesawat miliknya pun terus melangit. Utang dari Bank Mandiri sekitar Rp 47 miliar sekarang tinggal 20 persennya. “Setahun lagi selesai. Tinggal tiga kali cicilan lagi. Dari BRI, sebagian baru mulai cicil. Kalau ditotal, semua (pinjaman dari perbankan) lebih dari Rp 2 triliun. Return of investment (balik modal) kalau di penerbangan bisa 10-15 tahun karena mahal,” katanya.

Susi tak hanya mengepakkan sayap di bisnis pesawat dan menebar jaring di laut. Sekarang, dia pun merambah bisnis perkebunan. Meski begitu, dia mengakui ada banyak rintangan yang harus dilalui. “Perikanan kita sempat hampir rugi karena tsunami di Pagandaran pada 2005. Kami sempat dua tahun nggak ada kerja perikanan,” tuturnya.

Untuk penerbangan rute Jawa seperti Jakarta-Pangandaran, Bandung-Pangandaran dan Jakarta-Cilacap, Susi menyatakan masih merugi. Sebab, terkadang hanya ada 3-4 penumpang. Dengan harga tiket rata-rata Rp 500 ribu, pendapatan itu tidak cukup untuk membeli bahan bakar. “Sebulan rute Jawa bisa rugi Rp 300 juta sampai Rp 400 juta. Tapi, kan tertutupi dari yang luar Jawa. Lagian, itu juga berguna untuk mengangkut perikanan kami,” ujarnya.

Susi memang harus mengutamakan para pembeli ikannya, karena mereka sangat sensitif terhadap kesegaran ikan. Sekali angkut dalam satu pesawat, dia bisa memasukkan 1,1 ton ikan atau lobster segar. Pembelinya dari Hongkong dan Jepang setiap hari menunggu di Jakarta. “Bisnis ikan serta lobster tetap jalan dan bisnis penerbangan akan terus kami kembangkan. Tahun depan kami harap sudah bisa memiliki 60 pesawat,” katanya penuh optimisme.


Semoga Kisah Ibu Susi ini bisa memacu semangat Generasi Muda Negeri ini untuk berani berusaha dan mau bekerja keras ! tidak hanya berharap bisa bekerja sebagai pegawai saja.. tetapi justru bisa menciptakan lapangan kerja baru di tengah sempitnya lapangan kerja saat ini..! Semangat…!!!



http://www.kaskus.us/showthread.php?t=3694058

Sabtu, 24 Juli 2010

Sampah Hilang, Uang Datang di Bank Sampah

Vera Farah Bararah - detikHealth


img
Timbangan sampah (Vera/detikHealth)
Jakarta, Sampah seringkali disia-siakan sebagai barang kotor yang tak berguna. Padahal sampah yang tidak bernilai itu bisa menjadi uang dengan cara ditukarkan di bank sampah seperti yang didirikan Nanang Suwardi.

Bank sampah yang didirikan Nanang ini berada di Kampung Beting Indah Jl. Beting Indah No.2 RT 5/9 Kelurahan Semper Barat Kecamatan Cilincing Jakarta.

Bank sampah ini bekerja layaknya seperti bank yang melakukan simpan pinjam, setoran, penarikan dan tabungan. Semua transaksi itu bisa dilakukan asal ada sampahnya.

Di bank sampah ini, masyarakat bisa menukar sampah rumah tangga atau sampah lain dengan uang. Gambarannya seperti ini, masyarakat datang membawa sampah ke bank sampah, kemudian sampah itu dipilah-pilah mana yang sampah kaleng, plastik, kertas atau bekas makanan atau tumbuhan.

Setelah dipilah sampah akan ditimbang, misalnya sampah kaleng dihargai Rp 1.500 per kilogram, sampak kertas atau plastik Rp 800 per kg.

Masyarakat yang menukar sampah disini akan diberi semacam buku tabungan. Semua transaksi akan dicatat di buku tabungan tersebut. Misalnya menjual sampah kaleng Rp 5.000, nanti pihak bank sampah akan menawarkan apakah mau uang kas langsung atau ditabung.

Jika warga minta uang kas langsung diberikan uang kas hasil penjualan sampahnya. Tapi jika ingin ditabung akan dicatat sebagai saldo. Kebanyakan warga biasanya akan menabung dulu uang jual sampahnya sampai hasilnya lumayan baru setelah itu diambil.

Selain itu, lanjut Nanang, bank sampah juga memberikan fasilitas simpan pinjam maksimal Rp 300 ribu. Cara pembayaran kreditnya dengan menyetor sampah hingga nilai sampahnya melunasi pinjaman tersebut. Menariknya, fasilitas simpan pinjam ini tanpa jaminan, tanpa bunga dan bisa dibayar dengan sampah.

"Daripada sampah yang ada dibuang, lebih baik disimpan di bank sampah dan bisa menghasilkan uang," ujar Nanang dalam acara Family Environmental Edutainment di Bumi Perkemahan Cibubur, Sabtu (24/7/2010).

Nanang menuturkan tak mudah untuk mengajak masyarakat agar mau mengumpulkan sampah yang ada. Dibutuhkan beberapa pendekatan pada masyarakat, salah satunya dengan mengajak masyarakat melihat secara langsung bagaimana kerja dari bank sampah.

Sampah yang dikumpulkan bank sampah ini dimanfaatkan untuk kompos jika sampah berasal dari tumbuhan atau sisa makanan dan dibuat barang lain atau dijadikan berbagai souvenir.

"Diharapkan ini bisa mengubah pola pikir masyarakat agar sampah tidak menjadi sumber bencana dan mulai menjaga lingkungannya," ujar laki-laki yang juga menjadi ketua RW di lingkungan tempat tinggalnya.

Sampai saat ini bank sampah yang dikelola Nanang sudah punya 500 anggota tetap. Dia berharap model bank sampah ini bisa diterapkan di daerah-daerah lain.

(ver/ir)


http://health.detik.com/read/2010/07/24/144859/1405831/763/sampah-hilang-uang-datang-di-bank-sampah?l991101755

Sabtu, 03 Juli 2010

Merebut Hati Pelanggan Tanpa Perang Harga


foto:Nia/detikFinance
Bandung - Capek rasanya berkompetisi untuk mencari pelanggan dengan cara perang harga dengan kompetitor. Jadi, bagaimana caranya agar pembeli tetap menjadi pasar wirausaha Anda tanpa harus membanting harga.

Praktisi & Konsultan Servis Cylatamia Irawan berbagi kiat bagaimana caranya merebut hati pelanggan. Caranya, berikan pelayanan terbaik pada konsumen agar mereka menjadi pelanggan setia anda.

"Belajar dari bisnis yang sudah besar. Mereka ternyata memfokuskan pelayanan yang baik pada customer-nya. Itu yang membedakan dengan perusahaan atau bisnis lain yang serupa," ujar Cyltamia dalam Seminar Wanita Wirausaha BNI dan Femina bertajuk Inspirasi Wirausaha 'Tren, Peluang & Tantangan Usaha 2010' di Ballroom Hotel Novotel, Jalan Cihampelas, Bandung, Sabtu (3/7/2010).

Menurut Mia, yang juga merupakan CEO Lentera Consulting, promosi besar-besaran bukanlah jaminan banyaknya customer datang ke sebuah tempat usaha.

"Promosi hanya mengundang customer pertama kali saja, selanjutnya customer akan melakukan penilaian. Kalau pelayanannya tidak bagus, ya mereka akan pergi mencari tempat lain. Jadi promosi besar-besar akan percuma tanpa ada pelayanan yang baik," katanya.

Layaknya pepatah lama, Mia menuturkan, pengelola usaha harus memperlakukan konsumen sebagai raja.

"Strategi 'jadikan konsumen raja' yaitu berhasil mengambil hati konsumen. Meski menetapkan harga lebih tinggi, tetapi tetap dibeli bahkan lebih lama dalam bisnisnya," jelas Mia.

Disebutkan Mia, wirausaha yang sukses adalah yang bisa mengambil hati konsumennya. Apalagi esensi bisnis adalah menciptakan konsumen, menjaga konsumen dan menciptakan lebih banyak konsumen.

Lalu apa saja poin-poin yang harus dipuaskan oleh para pengelola usaha?

Mia menyebut ada tujuh service bites yang harus dipenuhi. Diantaranya, akses, kompetensi, keramahtamahan, responsif, kecepatan dan keamanan.

Akses misalnya, sebuah tempat usaha akan ditinggalkan jika sulit dijangkau oleh konsumen, baik dari letak fisik, telepon atau online.

"Tempatnya harus mudah dicari dan punya tempat parkir, kalau tidak akan susah. Telepon juga harus selalu bisa dihubungi, kalau tidak, konsumen jadi malas," katanya.

Untuk kompetensi, menurut Mia, karyawan di sebuah tempat usaha sudah seharusnya mengetahui info produk dan dapat menjelaskan pada konsumen.

"Kalau ditanya kenapa batiknya lebih mahal, jangan jawab tidak tahu. Pemilik tempat usaha harus men-training karyawannya untuk ini," jelasnya.

Tak hanya info produk, karyawan juga harus memiliki karakter yang ramah, responsif dan mampu memenuhi harapan konsumen. (tya/epi)


http://www.detikfinance.com/read/2010/07/03/191027/1392352/4/merebut-hati-pelanggan-tanpa-perang-harga?f9911013

Rhenald Kasali: Entrepreneur Sejati Harus Seperti Bola Tenis


Foto :epi/detikFinance
Bandung - Tak ada yang menjamin usaha yang sedang atau akan Anda jalani dapat berjalan dengan mulus. Untuk menjadi entrepreneur yang sukses diperlukan kemampuan membal atau bouncing seperti bola tenis, untuk tetap kembali bangkit meski menemui masalah di tengah jalan.


Demikian disampaikan Pakar Bisnis, Rhenald Kasali dalam Seminar Wanita Wirausaha BNI dan Femina bertajuk Inspirasi Wirausaha 'Tren, Peluang & Tantangan Usaha 2010' di Ballroom Hotel Novotel, Jalan Cihampelas, Bandung, Sabtu (3/7/2010).

"Tak ada yang bisa memastikan bisnis kita akan tetap sama 5 tahun ke depan. Tak ada yang abadi. Akan ada masalah yang ditemui di tengah perjalanan wirausaha. Pilihannya 2, apakah akan jadi telur, atau bola tenis," ujar Rhenald.

Dijelaskan Rhenald, jika seorang entrepreneur berjiwa telur, maka saat menghadapi masalah berat ia akan cenderung kalah dan menyerah. Sementara yang bermental bola tenis, ia akan senantiasa kembali ke atas untuk tetap mempertahankan usahanya.

"Telur memang lebih keras dari bola tenis, tapi saat jatuh telur akan langsung pecah. Tapi kalau bola tenis, ia akan kembali membal. Seperti itulah entrepreneur yang seharusnya. Tidak mudah menyerah," jelas Rhenald yang juga menjadi Guru Besar di FEUI.

Menurut Rhenald, seorang entrepreneur harus mau terus belajar. Karena dalam perjalanan mengembangkan bisnis, tentu akan mengalami berbagai kesulitan.

"Membuat usaha bukan sesuatu yang gampang. Anda akan menghadapi hal-hal yang sulit. Tapi itu harus terus dihadapi dan dijadikan latihan untuk mempelajari masalah," paparnya.

(tya/epi)



http://www.detikfinance.com/read/2010/07/03/161804/1392315/4/rhenald-kasali-entrepreneur-sejati-harus-seperti-bola-tenis?f9911013