Sabtu, 20 November 2010

calendar 2011

Jumat, 19 November 2010

Jatuh Bangunnya JOE BOXER



C59 Cara Raja Kaos Genjot Produktivitas



keberanian Memercayai

asyiknya punya WARALABA





SUKSES YANG MEMBEBASKAN




Bila ada yang mengatakan, kesuksesan adalah sebentuk kutukan, mungkin banyak orang akan mengerutkan alis sebagai tanda tidak percaya. Terutama karena terlalu lama manusia telah dibius bahwa kesuksesan adalah sebentuk garis finish kehidupan yang harus dicapai. Kerja keras, belajar keras, mencintai yang keras, semuanya yang serba keras ini dilakukan untuk mencapai kesuksesan. Jumlah saldo di bank yang menggunung, penampilan yang aduhai, nama yang dikenal banyak orang, rumah mewah yang mentereng hanyalah sebagian atribut­-atribut kesuksesan yang paling dicari.
Banyak sudah yang dihasilkan oleh pandangan hidup seperti ini. Dari hal-hal mikro seperti keluarga sejahtera, sampai tumbuhnya ekonomi negara seperti Cina yang demikian mencengangkan. Sukses ternyata tidak saja menjadi energi pribadi, tetapi juga menjadi mesin perekonomian yang bisa menarik gerbong-gerbong perekonomian dalam jumlah banyak. Banyak sudah acungan jempol yang ditujukan pada konsep hidup seperti ini.
Namun, sebagaimana wajah kehidupan yang lainnya, sukses juga berwajah ganda. Di satu sisi ia membantu, di lain sisi ia membelenggu. Soal wajah sukses yang membantu, tentu telah banyak diulas dan dibicarakan. Namun soal wajah sukses yang membelenggu, ini yang mulai banyak mengganggu. Perceraian, perselingkuhan, penyakit akibat bekerja terlalu keras, bahkan permusuhan serta peperangan bisa menjadi akibat dari sukses yang membe­lenggu.
 Sebut saja, kesombongan sebagai buah sukses. Terlalu banyak orang sukses kemudian diperangkap kesombongan. Dan mudah ditebak apa yang diperoleh manusia setelah diperangkap, kesombongan. Kesuksesan telah membuat manusia berbaju ego tebal, menganggap diri paling tinggi serta menempatkan orang lain dalam posisi yang lebih rendah.
Penyakit kelelahan adalah contoh lain. Ada seorang sahabat kaya raya yang mem­peroleh kekayaannya dengan jalan kerja keras. Namun ketika usia menginjak tua, kemudian sakit-sakitan, seluruh kekayaan habis untuk ongkos berobat di Singapura. Bahkan, ketika kekayaan habis pun, penyakit belum kunjung pergi. Ada juga cerita tentang pria setia yang demikian setianya sama keluarga sampai-sampai harus pulang malam terus dari tempat kerja. Namun begitu jadi orang kaya, kesetiaannya entah pergi ke mana. Kesuksesan barns dia bayar dengan perceraian.
Inilah sekelumit wajah kesuksesan yang memenjara. Sukses (terutama materi) yang dikejar dengan tidak sedikit biaya, dari sekolah yang keras, belajar yang keras, sampai dengan kerja yang keras, bahkan tidak sedikit yang membayarnya dengan harga lebih besar lagi berupa perceraian dan berantakannya rumah tangga, ternyata tidak membebaskan. Sebaliknya malah menjadi penjara-penjara yang menyengsarakan.
Tentu tidak disarankan kalau dari sini, banyak sahabat yang takut akan kesuksesan. Tidak disarankan juga menggunakan argumen dalam tulisan ini untuk menghakimi banyak orang sukses. Yang memerlukan perenungan mendalam dalam hal ini, bagaimana membuat sukses yang menelan biaya demikian besar ini bukannya memenjara, sebaliknya malah membuat hidup semakin terbebaskan?
Rute menuju ke sebuah tempat memang tidak pernah satu. Salah satu rute yang layak direnungkan dalam mencapai sukses yang membebaskan adalah dengan mencermati pikiran. Benar pendapat seorang guru bahwa mind is a good servant but a bad master.
Sebagai pembantu, pikiran memang pem­bantu yang amat mengagumkan. Namun sebagai penguasa, pikiran juga penguasa yang demikian memenjara. Secara lebih khusus lewat sifat pikiran yang hanya mengerti melalui dualitas. Tidak saja penyakit yang memenjara, sehat juga memen­jara. Terutama kalau sehat kemudian berha­rap selamanya sehat walafiat. Tidak saja derita memerangkap, bahagia juga memerangkap karena kebahagiaan meng­hadirkan keserakahan untuk tidak mau berganti situasi.
Sukses sebagai hasil olahan pikiran juga serupa. Tidak saja gagal memenjara, sukses juga memerangkap. Terutama karena kesuksesan diikuti oleh keterikatan agar sukses abadi. Akibatnya, kesuksesan disertai banyak ketakutan. Inilah salah satu awal dari sukses yang memenjara.
Seorang guru yang memahami hal ini pernah memberikan saran sederhana tetapi mengagumkan, "Try not too attach to any thought that arise in your mind! " Rupanya, keterikatan berlebihan terhadap apa saja yang muncul di pikiran bisa memenjara. Sehingga, apa pun gambar yang muncul di pikiran, lebih disarankan untuk berjarak seperlunya. Tidak saja dengan kegagalan, dengan kesuksesan juga perlu berjarak. Ketika manusia berhasil berjarak terhadap seluruh dualitas (baik-buruk, sukses-gagal, benar-salah, bahagia-sedih, dll) inilah tanda­-tanda terbukanya pintu gerbang kebebasan.
Tidak mudah tentunya, terutama karena manusia telah lama dipenjara pikiran. Diperlukan langkah-langkah pendisiplinan pikiran yang panjang. Dan meditasi adalah salah satu kendaraan penting dalam hal ini. Tugas meditator dalam hal ini, apa saja yang muncul di pikiran (baik-buruk, sukses-gagal. bahagia-derita) disarankan hanya dilihat Persis seperti melihat gambar-gambar sinetron di televisi. Semuanya berganti terus­-menerus. Dan yang melihat bisa berjarak terus tanpa perlu terpengaruh berlebihan. Seorang guru pernah berbisik, "Just seeing is your true nature. " Siapa saja yang tekun terus-menerus "melihat", akan datang waktu­nya bisa memahami apa yang disebut sebagai sukses yang membebaskan.

Liku-liku Mengelola Bisnis Alih Daya SDM

Titip Mobil di Rental

 



Departemen Pengembangan SDM





Coba kita lakukan sebuah simulasi sederhana. Datangi SLTA-SLTA yang bukan kejuruan pendidikan bisa sekolah favorit atau nonfavorit - dan ajukan pertanyaan: Siapa yang berminat menjadi guru? Jawabannya mudah diperkirakan: sangat sedikit yang berminat atau kalau pun ada peminatnya bukan pelajar dengan prestasi yang terbaik.
Tidak menariknya profesi guru adalah akibat kebijakan yang tidak memberikan insentif positif, dan penerapan kebijakan yang cenderung memarginalkan kehidupan guru. Sebuah lingkaran setan yang terus-­menerus menurunkan kualitas guru, serta pendidikan dasar dan menengah di Indonesia.
Tidak demikian halnya profesi dosen. Profesi dosen relatif cukup diminati karena iming-iming kompensasi yang menarik, misalnya, mendapat pendidikan lanjutan ke luar negeri. Berlawanan dengan peminat menjadi guru, peminat menjadi dosen umumnya mahasiswa-mahasiswi dengan kemampuan akademis yang terbaik, sehingga membentuk spiral positif terhadap profesi dosen dan (semoga) kualitas pen­didikan tinggi.
Fungsi guru atau dosen di perusahaan dimainkan secara dominan oleh unit pengembangan sumber daya manusia (human resources development/ HRD). Mulai dari rekrutmen, seleksi, pelatihan dan pengem­bangan, penempatan, mutasi, rotasi, sampai manajemen karier adalah siklus yang men­jadi tanggung jawab utama HRD.
Sayang, perlakuan perusahaan terhadap tim HRD lebih mirip perlakuan terhadap guru di-banding dosen. Untuk menjalankan fungi yang sangat vital ini perusahaan cenderung tidak memberikan apresiasi yang tinggi, dan tidak menugaskan karyawan terbaik untuk menjadi bagian tim HRD. Karyawan terbaik perusahaan lebih sering ditugasi mengurus fungsi bisnis: pemasaran, penjualan, pro­duksi dan keuangan. HRD adalah prioritas berikutnya. Bahkan, sering penempatan seseorang ke HRD dianggap sebagai hu­kuman, karena justru banyak karyawan yang berprestasi buruk di-"HRD"-kan.
Di perusahaan kelas dunia seperti Unilever, Citibank dan IBM, fungsi HRD dijalankan oleh karyawan-karyawan terbaik, minimal kategori baik. Sehingga kualitas karyawan sebagai kapital dasar sangat terjaga dan aliran prestasi yang diacu Balance Scorecard: manusia-organisasi-pelanggan dan keuangan berjalan sangat minus.
Kebutuhan akan kualifikasi tim HRD yang andal makin terasa dalam konteks Learning Organization, di mana kapital terpenting perusahaan yaitu pengetahuan,
sikap dan keterampilan melekat pada karya­wan. Tantangan utama perusahaan saat ini adalah melakukan updating pengetahuan, sikap dan keterampilan (knowledge, attitude, skill disingkat KAS oleh Prof. Mario Lopez dari Asian Institute of Management, Manila) secara terus-menerus sesuai dengan tuntutan pasar. Meng-update KAS berarti meng­update manusia. Agar siklus updating berjalan sempurna, yang pertama kali harus di-update adalah para petugas yang ber­tanggung jawab melakukan updating KAS karyawan.
Beberapa langkah ini dapat dipertim­bangkan sebagai alternatif peningkatan kualitas tim HRD. Pertama, tentunya dengan memilih karyawan terbaik - baik secara intelektual maupun emosional - untuk memimpin tim HRD. Dengan melakukan ini kita sedang memulai proses replikasi karyawan juara. Pada awalnya terasa ada pengorbanan dengan kehilangan karyawan andal dari kegiatan lini, tetapi dalam jangka panjang akan dihasilkan banyak karyawan berkualitas.
Kedua,tugaskan sementara para karyawaan lini yang terbaik dalam kegiatan HRD. Selama 6 bulan sampai satu tahun tugaskan mereka untuk menyempumakan fungsi HRD dalam peran manajerial atau pendukung, seperti menyusun modul pelatihan atau melakukan coaching terhadap karyawan. Penugasan ini baik juga bagi pengembangan karier karyawan yang ditugaskan, mengingat di Amerika Serikat telah lama berlaku rule of thumb - salah satu prasyarat menjadi CEO adalah pernah memegang fungsi HRD dalam kariernya.
Ketiga,mengundang para manajer yang tangguh untuk terlibat sebagai anggota komite HRD dalam membahas hal strategis agar dicapai keputusan yang berimbang baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Keempat, yang tidak kalah penting berikan kompensasi yang menarik kegiatan pengelolaan HRD. Mulai dari best trainer award, dan insentif sebagai coach.
HRD bukan raja, melainkan king maker. Maka wajarlah, untuk memegang perang king maker perusahaan menugaskan karyawan yang terbaik untuk memimpin unitnya itu.

COMPLETED STAFF WORK

 
Beberapa waktu yang lalu saya bekerja dengan sebuah perusahaan dimana ada seorang “high flying” eksekutif yang masih di bawah usia 30 tahun. Orangnya sangat cerdas dan bekerja dengan cepat, namun banyak rekan kerjanya yang risih terhadapnya.
Sebenarnya ada pengakuan diantara koleganya Yang sudah sesama berada satu level dibawah Direksi bahwa anak muda ini memang sangat pandai dan professional. Namun ada juga kesan bahwa mereka sangat iri kepadanya dengan dalih "aah, dia kan sebenarnya cuma bermodat bahasa inggris dan kemampuan mendekati boss saja!". Bukti yang diaju­kan bahwa pasti ada favoritisme adalah fakta bahwa kalau anak muda ini masuk ke ruang Presiden Direktur organisasi ini maka dia akan mendapat waktu jauh lebih lama dari eksekutif yang lainnya. Dan dia pun lebih sering diberi waktu untuk ketemu secara lang­sung dengan sang Presiden Direktur.
Suatu hari saya sedang berbincang dengan sang Presiden Direktur mengenai perusahaannya dan dalam kesempatan tersebut saya bertanya tangsung kepadanya "Bapak tahu ada rumor dan kesan bahwa Anda menganak emas kan si X?". Jawaban dia sangat jujur dan sederhana: "Iya, saya sudah mendengar rumor tersebut dan barangkali kenyataannya memang benar. Saya senang berdiskusi sama si X karena kalau dia minta waktu ketemu saya sudah pasti akan ada dua hal yang terjadi. Pertama, topik yang ingin dibicarakan pasti penting dan perlu dibicarakan saat itu. Kedua, dan ini yang sungguh saya hargai, waktu kita berbicara dia tidak hanya membawa masalah, tetapi dia akan menuturkan persoalannya beserta atternatif yang dia sudah pikirkan. Dia kemudian akan menceritakan plus minus setiap alternatif dan menga­pa dia pertu pertimbangan saya". "Kalau yang lain mempunyai kecenderungan untuk datang dengan masalah dan meminta saya untuk mengatasinya. Saya jadi merasa selalu dibebani masalah yang lama-kela­maan menjadi menumpuk di saya. Kalau dengan X, saya akan membantu dengan keputusan yang diper­lukan tetapi pekerjaannya tidak pernah pindah ke saya." tutur sang Presiden Direktur.
Ketika mendengar penjetasan ini saya teringat kepada suatu waktu dipermulaan zaman Orde Baru dimana almarhum bapak saya bercerita mengenai hubungan "spesial" yang sedang berkembang antara Pak Harto dan Profesor Widjojo Nitisastro. Waktu itu banyak masalah ekonomi yang harus dipecahkan dan Pak Harto sangat senang bertemu dengan Profesor Widjojo karena disetiap pertemuan mereka Pak Widjojo akan selalu menuturkan masalah ekonomi Yang dihadapi, alternatif yang ada, beserta konsekuensi dari setiap alternatif. Biasanya sebelum mengambit keputusan Pak Harto akan bertanya penda­pat Profesor Widjojo pilihan beliau yang mana. Profesor Widjojopun kemudian akan mengemukakan pendapatnya. Yang menarik dari interaksi ini adalah, konon, Pak Harto banyak belajar mengenai ekonomi tanpa merasa digurui dan dapat secara cepat
mengambil keputusan yang terbaik karena ada masukan yang lengkap.
Dua cerita ini menggambarkan betapa pentingnya Yang namanya Completed Staff Work, sayangnya kita juga sering mendengar cerita mengenai Incomplete Staff Work. Seorang expat yang dikirim ke Indonesia untuk menjadi Presiden Direktur perusahaannya disini mengatakan separuh bercanda dan separuh mengeluh: seharusnya peran saya adalah sebagai seorang gene­ral manager nyatanya saya lebih sering sebagai gene­ral helper. setiap hari saya selalu mengerjakan peker­jaan yang seharusnya selesai sebelum datang ke saya". Atau keluhan bekas kolega saya di sebuah bank asing "saya sekarang di Indonesia mengerjakan pekerjaan Yang saya lakukan 15 tahun yang lalu sebagai seorang junior supervisor". Saya penasaran dan bertanya kenapa mereka membiarkan itu terjadi dan dua­-duanya mempunyai alasan yang mirip "the work has to get done now. I don't have the luxury to train them yet but I do not want to see mistakes. So, I have to do it". Padahal mereka sadar sepenuhnya ini akan menambah beban mereka. OK, mereka expat dan mereka relatif tidak akan lama di Indonesia. Bagaimana dengan kita sendiri? Seorang CEO Indonesia Yang memimpin perusahaan asing agak santai pasrah menjawabnya "saya biarin saja dikerjakan apa adanya dulu. Kalau tidak saya jadi pusing tidak kepalang." Semua ini adalah cerita klasik mengenai kebutuhan jangka pendek yang mendesak dan pemberdayaan jangka menengah yang kita pertu laksanakan.
Incomplete Staff Work. Siapa yang bertanggung jawab? Si anak buah atau si atasan? (atau kalau kita mau gaya sopan kita salahkan saja keadaan - lebih enak dan aman). Jawabannya: dua-duanya bertanggung jawab. Sebagai anak buah saya harus merasa bahwa pekerjaan saya adalah tanggung jawab saya dan saya hanya boleh "pass the buck upstairs" katau saya memang sudah stuck atau wewenangnya di atas saya. Yang pasti saya hanya minta pendapat atau keputusan dan saya akan meneruskan pekerjaannya sampai tuntas. Sebagai atasan seninya adalah kita untuk sementara boleh jadi pembantu tetapi jangan jadi "keranjang sampah atas". Kata kuncinya adalah sementara. Jika anda sedang "membantu", cepat ajarkan prinsip dan cara anda menyelesaikan pekerjaan tersebut kepada anak buah anda. Luangkan waktu untuk knowledge sharing. Jika tidak maka harga Yang anda bayar jadi lebih mahal. Kalau anda sudah mengerjakan ini lain kali jangan mau terima masalah Yang sama dari orang yang sama. Kalau itu berulang kali maka barangkali sudah saatnya anda mempertim­bangkan mencari the Right person untuk pekerjaan tersebut. Itu loh, anak buah yang membuat risih rekan sekerja karena dia membawa completed staff work.

Kamis, 18 November 2010

FEED BACK ANAK BUAH UNTUK PARA CEO




Tak perlu diragukan. seorang Chief Executive Officer (CEO) adalah orang pilihan. Dalam sebuah organisasi bisnis modern. CEO adalah kader terbaik. Dialah yang memiliki dan mengembangkan visi perusahaan ke depan, serta menerjemahkannya dalam strategi bisnis yang implementatif. Di tangan CEO nasib perusahaan banyak ditentukan. Karena itu, bila CEO sebuah perusahaan punya visi tajam ke depan dan mampu menerjemahkannya dalam strategi-strategi bisnis yang efektif, ham­pir dipastikan perusahaan berkembang dengan kinerja yang hebat; Contoh gam­pangnya, lihat saja nama-nama perusa­haan yang CEO-nya terpilih sebagai The Best CEO kali ini.
Toh, dengan segala superioritas dan keunggulan yang dimiliki, betapapun CEO adalah manusia biasa. Ia sudah pasti punya sejumlah keterbatasan dan kelemahan yang entah disadari atau tidak. Karenanya, CEO yang bijak pasti bersedia menerima umpan balik (feedback) dari orang lain, khususnya dari kalangan anak buahnya. Apalagi, kenyataannya kritikan anak buah itu sering merupakan masukan yang bermanfaat karena bisa mengubah kelemahan yang selama ini tak disadari menjadi sebuah energi kepemimpinan yang dahsyat.
Dari survei terhadap para bawahan The Best CEO kali ini, SWA juga menemukan sejumlah umpan balik menarik yang tentu saja bisa bermanfaat buat pengembangan diri para CEO. Contohnya, feedback yang diberikan kepada CEO
SonyEricsson Indonesia, Alino Sugianto. Dari survei ini kelihatan sekali para bawahan Alino menginginkan agar top eksekutif yang flamboyan ini lebih banyak membagi waktunya dengan bawahan. “Dia terlalu sibuk di luar sehingga kadang komunikasi internal kurang mendapat porsi yang cukup.” Kata seorang anak buah Alino.
Namun sebenarnya itu juga bias di maklumi. Tugas Alino memang membangun jaringan pemasaran SonyEricsson, dan hubungan dengan semua unsur saluran pemasaran. Karena itu, boleh jadi perhati­an terhadap anak buah agak kurang. "Kami ingin beliau care dan intens mengem­bangkan anak buah," kata sumber itu saat disurvei.
Ayu Murtika, Kepala Departemen La­yanan Pelanggan SonyEricsson mengakui kesibukan Alino. "Al itu sibuk banger," ujarnya. Saking sibuknya, ia mengungkap­kan, untuk keluar makan bersama karya­wannya paling banter hanya bisa sekali dalam sebulan, itu pun acara khusus seperti ulang tahun karyawan. Namur Tika, nama panggilan Ayu Murtika, mengaku bisa me­mahami kurangnya waktu Alino untuk para stafnya. Pasalnya, kondisi pasar yang me­reka geluti sangat dinamis, sehingga membutuhkan perhatian penuh dari pemimpin.
Menariknya, umpan balik hampir serupa juga diterima sejumlah CEO lain, seperti CEO PT Astra Agro Lestari, PT Astra International dan Nokia Indonesia. Mereka juga disarankan agar lebih banyak men­dekati karyawan level yang lebih bawah.
Bila disimak, dari berbagai umpan balik yang diberikan kalangan anak buah ke para CEO mereka, ada beberapa pesan yang relatif seragam. Misalnya saran agar CEO bersedia lebih mendelegasikan dan memercayakan pekerjaan kepada stafnya. Beberapa CEO, mungkin karena ketokoh­annya yang dominan, cenderung egosen­tris, sehingga segala sesuatunya harus da­lam kontrolnya langsung. Padahal sebenar­nya beberapa pekerjaan bisa dikerjakan oleh anak buah. Kalau proses pendelega­sian ini berjalan, selain bisa mengehemat energi dan pikiran sang CEO, juga bisa merupakan bagian dari pembelajaran boat anak buah. Jadi, ini merupakan penajaman peran pemberdayaan (empowerment).
Umpan balik lainnya yakni agar CEO bersikap lebih tegas menyikapi karyawan yang tidak berkinerja baik, dan bersikap objektif terhadap semua anak buah. Bebe­rapa responder anak buah CEO yang di­survei menyebutkan ada CEO yang cende­rung menjaga kedekatan personal yang  berlebihan kepada satu atau dua anak buah, padahal ikatannya bukan karena performa kerja melainkan hubungan personal semacam pertemanan. "Kede­katan dengan beberapa karyawan perlu dikurangi," saran seorang anak buah CEO di Grup Astra. Kalangan staf yang di­survei juga menyarankan agar CEO lebih bersikap terbuka dengan karyawan.
Tak sedikit pula yang memberikan masukan agar para CEO jangan terlalu emosional dan bisa menjaga kesabaran. Khususnya dalam sikap verbal — se­macam perkataan — ketika ada masalah pada pekerjaan anak buah. Sebagai contoh, Emansyah Sulaeman dari Divisi Sekretaris Korporat BRI melayangkan masukan seperti itu untuk Rudjito. Emansyah melihat kelemahan Rudjito dalam hal pengendalian emosi. "Tapi ini mungkin saja karena faktor usia dan tanggungjawabnya yang besar," katanya berusaha memahami. Ia menyarankan, alangkah baiknya kalau Rudjito sebagai bos bisa lebih mengendalikan emosi. Ya, teguran ataupun peringatan sebenarnya memang biasa dipakai para atasan sebagai tool manajemen mereka, asalkan masih dalam taraf emosi yang wajar.
Lebih jauh lagi, Tossin Himawan, Vice President PT Astra Honda Motor, anak buah CEO Astra Budi Setiadarma, berpendapat, keberhasilan seorang CEO karena didukung tim yang baik. Dalam hal ini ia melihat kepemimpinan yang baik ialah yang bisa memberi teladan. Sang CEO, menurut Tossin, harus bisa menutupi kelemahan anak buah. "Ito yang memperkuat tim dan melambung­kan CEO," katanya. Ia menyarankan agar CEO bisa menggunakan waktunya secara optimal. Tossin menggambarkan, dalam organisasi ketentaraan saja ada level ma­yor, kolonel dan jenderal, sehingga ke­cepatan masing-masing tak sama. "Dia harus bisa menyelaraskan," ujarnya.•