Minggu, 23 Mei 2010

Ketika Merek Menjadi Ikon

oleh : admin


Apa arti secangkir kopi? Di tangan Howard D. Schultz, secangkir kopi adalah sebuah pengalaman komplet flavor yang menggoyang seluruh kuncup rasa di lidah, tata ruang chic yang menyegarkan mata, musik indah yang mengelus jiwa, suasana akrab yang cozy. Ya, bagi Shultz, kedai kopinya yang bernama Starbucks tak sekadar menjajakan berbagai varian sajian kopi.

ÂÂ

“The product is the experience,”ujarnya dalam berbagai kesempatan. Betul, yang disediakan Starbucks adalah latte dan minuman sejenisnya. Akan tetapi, yang ditawarkan sejatinya adalah, itu tadi, pengalaman menikmati gaya hidup yang hip.

ÂÂ

Konsep bisnis yang edan? Tidak juga. Tanyakan saja kepada mereka yang dengan rela antre membayar harga selangit untuk secangkir minuman termasuk yang nonkopi. Dan percayalah, mereka yang menganggap ide Schultz itu cool amat-sangat banyak, dari berbagai usia dan latar belakang sosial budaya.

ÂÂ

Tak mengherankan, Starbucks berhasil mengibarkan diri menjadi merek yang paling meroket sepanjang sejarah bisnis. Penyebarannya yang mendunia, selain jutaan dolar yang berhasil ditangguk, membuat Starbucks dalam usia yang relatif muda mampu menyeruak ke Jajaran 100 Merek Global Paling Bernilai versi Interbrand.

ÂÂ

Memang, dengan brand value (BV) US$ 2,4 miliar, Starbucks masih di peringkat ke-98. Kendati demikian, kenyataan bahwa kedai kopi yang baru diluncurkan pada 1992 itu berada dalam satu liga dengan nama-nama besar di industri minuman seperti Coca-Cola (peringkat ke-1), Pepsi (ke-22), Nescafe (ke-23), Budweiser (ke-24), Hennesy (ke-83, cognac), Smirnoff (ke-86, vodka), dan Heineken (ke-99, bir) maupun raksasa bisnis resto sekaliber McDonald’s (ke-7) dan KFC (ke-54) yang semuanya jauh lebih senior sudah merupakan kebanggaan tersendiri. Apalagi, belum ada pesaing dari kategori bisnisnya yang berhasil masuk ke “liga utama” BV global versi Interbrand tersebut.

ÂÂ

Di tengah menjamurnya kedai kopi internasional, Starbucks hampir menjadi ikon. Sebab, walau Schultz bukan yang pertama menampilkan kopi gourmet di luar hotel berbintang, Starbucks adalah kedai kopi pertama dengan visi jelas yang sukses menunggang pasang naik tren mobile working ketika gelombang gaya hidup “bekerja sambil santai di mana saja, kapan saja” itu masih berupa riak-riak kecil. Menempatkan diri sebagai “the third place” setelah rumah dan kantor (atau kampus) kedai kopi yang satu ini menjelmakan diri jadi semacam institusi bagi kalangan tertentu.

ÂÂ

Dengan kata lain, Starbucks telah membangun komunitas di sekitar merek berlogo perempuan dengan rambut tergerai itu. Schultz berhasil membuat sekelompok orang dengan senang hati melakukan “ritual” minum latte ala Starbucks. Kehadiran kedai kopi internasional lain yang menawarkan ritual serupa bisa saja membuat experience yang dijajakan Starbucks menjadi generik. Namun, kalau Schultz bisa terus memberikan sesuatu yang istimewa diferensiasi sehingga para pelanggan bangga menjadi anggota komunitas yang fanatik, Starbucks akan jadi occult brand. Ia akan diakui sebagai ikon.

ÂÂ

Melahirkan ikon adalah impian setiap pemasar. Bagaimana tidak, sebagai “identitas kelompok”, iconic brand akan gampang mendapatkan bantuan suka rela dari barisan pelanggan fanatiknya yang merasa ikut memiliki.

ÂÂ

Contoh klasik adalah Harley-Davidson. Komunitas pemilik motor gede ini yang anggota resminya mencapai 886 ribu bukan hanya rela, melainkan bangga, mengorganisasikan berbagai event mulai dari tur dengan moge, pelatihan (mengendara, servis kecil-kecilan), kegiatan sosial, pengumpulan dana karitas. Mereka juga bangga nongol di artikel hobi berbagai majalah dengan segala macam atribut Harley yang dirasa memberi kesan macho, bahkan rada bengal, walau kesehariannya banyak yang berdandan perlente sebagai eksekutif bisnis.

ÂÂ

“Icons don’t seek to mirror the thoughts and emotions of their customers. They speaks as rebels,”tulis Douglas B. Holt dalam “What Becomes an Icon Most?” Menurut Holt dalam artikelnya di Harvard Business Rewiew itu, “mampu menyuarakan pemberontakan jiwa” hanyalah satu dari sekian prasyarat yang dimiliki merek untuk jadi ikon.

ÂÂ

Tak banyak yang bisa leluasa berlaku seperti Richard Branson, pendiri Grup Virgin yang urakan itu, sementara eksekutif berduit yang sehari-harinya dibatasi segala atribut yang menyesakkan, termasuk dalam berpakaian, rupanya menemukan penyaluran untuk naluri memberontaknya pada produk Harley yang dapat dipacu kencang dan membuat orang lain menengok hanya karena bunyinya yang berdentam khas itu. Dan jumlah orang seperti ini, yang tak selalu kalangan eksekutif, cukup banyak.

ÂÂ

Ketika tahun lalu Harley merayakan hari jadinya yang ke-100, tak kurang dari seperempat juta orang berkumpul di Milwaukee, kantor pusat dan pabrik motor legendaris tersebut. Fanatisme yang luar biasa ini membuat lebih dari separuh penjualan moge baru Harley diserap oleh pelanggan yang ada, yang membeli model lebih mahal  melakukan trading up. Keberhasilan re-selling ini, plus sambutan yang lumayan model yang ditujukan buat kaum hawa, membuat BV Harley meningkat 4%, mendongkrak posisinya tiga tingkat menjadi peringkat ke-41.

ÂÂ

Satu hal lain yang mendongkrak suatu merek menjadi ikon adalah kemampuan menciptakan mitos yang membentuk budaya. “Tak seperti branding konvensional, ikon tidak meniru budaya pop,” ujar Holt selanjutnya. “They lead it.”  Para ikon itu menciptakan visi kharismatis tentang dunia sehingga orang banyak mengerti perubahan sosial yang tengah terjadi, seperti yang dilakukan Marilyn Monroe dan The Beatles, John F. Kennedy dan Che Guevara, Bart Simpson dan Steve Jobs.

ÂÂ

Ketika para artis rekaman lain berlomba menyuguhkan lagu mendayu yang bertele-tele, The Beatles menawarkan beat riang dalam format berdurasi 2-3 menit. Betul, ide empat sekawan dari Liverpool itu diambil dari khasanah musik orang hitam Amerika yang telah membuat Elvis Presley, orang putih dari kalangan relatif mapan, meroket jadi ikon. Akan tetapi, mengembangkannya lebih luas dengan ciri yang khas, The Fabulous Four jadi ikon yang lebih besar dan menginternasional. Belakangan, John Lennon dengan lagu-lagu protes dan gaya urakannya itu menjadi ikon tersendiri ― ikon perdamaian dan antikemapanan.

ÂÂ

Steve Jobs melakukan hal serupa tetapi tak sama di dunia bisnis. Menawarkan produk PC yang user friendly dengan desain yang sama sekali berbeda dari yang lain, untuk tak menyebut berbagai inovasi (mouse, graphic-user interface, laser printer, monitor berwarna, konektor USB) yang kemudian menjadi standar industri, Jobs membuat para pengguna produk Apple Inc. mengidentifikasikan diri sebagai orang-orang yang punya selera bagus, melek teknologi dan inovatif pula.

ÂÂ

Buat sementara orang, Apple sudah jadi semacam religi sehingga melahirkan komunitas tersendiri. Orang-orang yang fanatik dengan produk berlogo sebutir apel yang gumpil tergigit itu mungkin tak menganggap PC atau notebook buatan Hewlett-Packard, Dell, dan sebangsanya itu jelek. Hanya, buat mereka, PC berbasis Wintel tak bisa dibandingkan dengan Mac ― seperti perasaan yang ditunjukkan para penggemar Harley terhadap moge lain. Maka, keputusan Jobs menggandeng Intel sebagai pemasok mikroprosesor untuk produk Apple masa depan menjadi ujian tersendiri buat kesaktian nama seorang Steve Jobs yang menjadi dewa para cyberpunk itu.

ÂÂ

Sejauh ini, mampu mempertahankan citra produknya sebagai ikon inovasi dan gaya hidup yang cool, Apple yang sukses merebut pasar pemutar musik portabel dengan iPod, berhasil meningkatkan BV sampai 24% tertinggi di antara Jajaran 100 Merek Global sehingga mendongkrak posisinya 7 tingkat ke peringkat ke-43. Jika dapat mempertahankan diferensiasi strategisnya sebagai perusahaan yang inovatif, posisi sebagai ikon tentu akan membuat BV terus meroket secara berkelanjutan.

ÂÂ

Diferensiasi strategis ini perlu, karena yang nonstrategis tak banyak membantu nilai jangka panjang sebuah merek. Diferensiasi transient yang bisa dicapai dengan promosi besar, termasuk big sale, misalnya, akan luntur tak seberapa lama setelah upaya promosional dihentikan. Demikian pula diferensiasi circumstantial, seperti posisi gerai atau sejarah yang menguntungkan, gampang tergerus perubahan ataupun kemajuan pesaing. Mendapat penawaran yang lebih murah, pelanggan akan pergi ke Wal-Mart untuk barang konsumsi sehari-hari yang sama, walau superstore ini berada jauh di pinggir kota,.

ÂÂ

Menurunnya BV Nokia dan Sony di tengah meroketnya BV Samsung merupakan contoh bagaimana diferensiasi yang tadinya strategis menjadi sekadar circumstantial dan, karenanya, rawan terhadap persaingan ketat jika tak terpelihara baik. Di industri telekomunikasi, Nokia adalah yang pertama memperlakukan telepon seluler (ponsel) sebagai produk fashion dan Sony adalah kiblat teknologi. Nokia sebagai yang pertama menikmati posisi nyaris monopolistis seperti yang sekarang dinikmati Apple dengan iPod-nya, sementara Sony menjadi ikon produk elektronik.

ÂÂ

Lalu, kita tahu, datanglah Samsung dengan produk ponselnya yang tak kalah gaya dan fitur lebih lengkap serta produk TV dengan teknologi termaju, LCD dan plasma. Inovasi ini, ditambah promosi cerdik yang gencar, segera saja membuat chaebol Korea yang tadinya dipandang sebelah mata itu jadi cool. Tumbuhnya kepercayaan konsumen terhadap mereka terlihat jelas dengan meningkatnya BV Samsung yang sampai 16% sehingga peringkatnya tepat di belakang Sony yang BV-nya turun 3% dan tiga tahun terakhir ini mandek di peringkat ke-20. Padahal, perlu dicatat, pada 2004 brand awareness Sony, setidaknya di AS yang merupakan pasar terbesar dunia, masih tak terkalahkan. Buktinya, dalam Harris Poll, responden yang diminta pendapat melalui telepon tentang merek apa yang terbaik menurut mereka, sebagian besar secara spontan menyebut nama Sony.

ÂÂ

Dalam hal Nokia, pasar kampiun asal Finlandia ini tergerogoti produk ponsel Samsung (dan Motorola), BV-nya tergerus 18% dan posisinya anjlok dua tingkat menjadi peringkat ke-8. Namun Hedman mengakui, “Sebagian kawula muda mungkin melihat Nokia kelewat biasa too everyday, too middle of the road.” Akan tetapi, bos global branding Nokia ini tak yakin kalau nilai merek mereka bisa terjun bebas sampai 18% hanya dalam tempo 12 bulan. “Once you have it, it’s a bit like insurance,” ujarnya. “Nggak mungkinlah nilainya tererosi begitu cepat, kecuali kalau kami bikin banyak kesalahan dan terus-menerus.”

ÂÂ

Mungkin Hedman benar. Namun, sejarah penuh dengan contoh bagaimana merek yang tadinya moncer mendadak redup setelah gagal mempertahankan inovasi yang tadinya membuat mereka berkilau, sementara pesaing terus melempar produk sejenis yang lebih ngetren.

ÂÂ

Seluruh pesaing, pakar diferensiasi strategis Dan Herman mengingatkan, boleh dibilang juga (berupaya) menawarkan produk atau layanan yang tak kalah bagus. Di industri otomotif, misalnya, semua pasti berupaya menawarkan mobil yang aman, nyaman, modelnya keren, aksesorinya lengkap, layanan pascajualnya bisa diandalkan, harganya masuk akal. Artinya, masih menurut pendiri Herman Strategic Consultants yang berbasis di Tel Aviv ini, fitur dan layanan jempolan sudah tak jadi diferensiasi lagi ketika semua pemain melakukan hal yang sama.

ÂÂ

Maka, ketika BMW mampu membuat pemakainya mengekspresikan diri sebagai kawula muda yang sukses dengan produk-produknya yang sporty, kampiun otomotif asal Bavaria, Jerman, ini berhasil membentuk komunitas penggemar yang fanatik. Sambutan pasar yang meriah terhadap produk baru terutama Seri 6 dan X3 membuat BV BMW meningkat 5% dan posisinya melejit dua tingkat ke peringkat ke-17, menyalip Honda dan Ford yang BV-nya merosot.

ÂÂ

Komunitas penggemar BMW, juga Harley dan Apple, terbentuk karena perusahaan terus-menerus memberikan value yang membuat pelanggan inti bangga mengidentifikasikan diri dengan merek produk atau layanan perusahaan tersebut. Di era komunikasi tanpa batas ini, komunitas yang bangga tersebut dengan gampang membentuk forum komunikasi global melalui dunia maya.

ÂÂ

Ketika seorang Casey Neistat gusar dengan kenyataan bahwa baterai iPod yang dia miliki irreplaceble dan umur pakainya cuma 18 bulan, penggemar fanatik produk Apple ini dan adik lelakinya, Van, membuat film bertajuk iPod’s Dirty Secret dan meluncurkan situs Web berisi protes. Hasilnya: hanya dalam bilangan minggu, situs Web anti-iPod Neistat Bersaudara itu mendapat 1,4 juta hit dari seluruh dunia dan Apple segera mengatasi masalah yang bisa membuat produknya disingkirkan penggemar tersebut.

ÂÂ

Kedua Neistat itu meyakinkan bahwa mereka bikin film dan situs Web protes justru karena mencintai Apple. Sebuah cara pengungkapan cinta yang aneh, memang. Namun, itulah yang sering dilakukan penggemar terhadap produk ikon.

ÂÂ

Di Shanghai, Wang Jian Shuo membuat Web log yang, antara lain, menampilkan apa yang dia suka dan tak suka terhadap Ikea, perusahaan furnitur asal Swedia yang menawarkan produk berdesain chic dengan harga yang tak mencekik itu. Wang juga cerita bagaimana dia, ketika baru lulus sarjana pada 1999, menghabiskan gaji pertamanya buat membeli rak buku yang lama diidamkannya.

ÂÂ

Kenyataan bahwa Web log yang bersifat pribadi seperti milik Wang itu mendapat respons dari mancanegara menunjukkan bahwa Ikea memiliki komunitas penggemar yang cukup luas. Tak mengherankan, BV Ikea terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada 2004, dengan peningkatan BV 4%, posisi kampiun industri furnitur ini melejit tiga tingkat menjadi peringkat ke-40.

ÂÂ

Yang harus diwaspadai, banyak pula komunitas mereka yang nonpenggemar, tentunya memanfaatkan kekuatan global Internet dengan agenda tertentu. Alhasil, revolusi teknologi informasi yang memungkinkan masyarakat tak hanya menjadi konsumen pasif itu membuat perusahaan semacam Nike yang banyak mengalihdayakan produksinya, misalnya, harus mengerahkan segala upaya agar citranya tak sampai tercoreng isu mengisap tenaga masyarakat miskin di Negara Dunia Ketiga.

ÂÂ

Laiknya sebuah teknologi baru yang disruptif, Internet memang bak pisau bermata dua. Jaringan elektronik terbuka yang kaya informasi itu telah membuat pembandingan harga serta kualitas produk dan layanan apa pun mudah dan cepat. Buntutnya, pelanggan kian menuntut lebih dari sebuah merek ketimbang sekadar reliability. Salah satu yang dituntut pelanggan adalah, itu tadi, semacam ekspresi diri melalui merek yang mereka beli.

ÂÂ

Sebaliknya, Internet memberikan kemudahan bagi perusahaan yang kreatif untuk memenuhi tuntutan pelanggan bahkan sebelum tuntutan tersebut menjadi kebutuhan umum. Beberapa dari mereka, seperti Nike, memberikan pelanggan kemudahan mengekspresikan diri melalui kustomisasi. Strategi yang memungkinkan pelanggan memilih warna sepatu yang bersifat pribadi ini membuat BV perusahaan yang bermarkas di Oregon tersebut melejit 13%, mendongkrak peringkat mereka menuju posisi ke-31 atau dua tingkat lebih tinggi dibanding pada 2003.

ÂÂ

Nike berhasil menjadi ikon dengan meluncurkan lini produk Air Jordan yang, di-endorse mahabintang NBA Michel Jordan, menjadi ekspresi pencapaian diri yang luar biasa. Belakangan, kepiawaiannya membaca tanda-tanda budaya, positioning yang melekatkan diri dengan gaya hidup hip-hop kalangan kulit hitam kawasan kumuh New York, menjadikan Nike sebagai ikon Generasi X.

ÂÂ

Merek lain yang sukses memainkan kartu budaya untuk merangkul Generasi X adalah Pepsi. Produk yang inovatif semacam Pepsi Twist dan Pepsi Blue dan endorsement bintang yang sedang bersinar terang semacam David Beckham membuat BV-nya meningkat 2% dan posisinya terdongkrak satu tingkat menjadi peringkat ke-22. Peningkatan nilai yang dibukukan Pepsi ini antara lain diperoleh dengan merebut pasar Coca-Cola sehingga BV pesaing terberatnya ini merosot 4% walau, dengan nilai US$ 67,4 miliar, pada 2004 Coke masih bertahan di posisi puncak.

ÂÂ

Merek yang masih muda, yang tumbuh bersama era Internet, umumnya lebih piawai memanfaatkan dunia maya untuk membangun komunitas. Di antara mereka, yang paling berhasil membangun komunitas pengguna ini, bisa ditebak, adalah kampiun industri dotcom semacam Amazon dan Yahoo!. Tak mengherankan, keduanya mampu mendongkrak tinggi BV mereka: 22% untuk Amazon (sehingga posisinya melejit 8 tingkat menjadi peringkat ke-66) dan 17% untuk Yahoo! (sehingga posisinya melejit empat tingkat menjadi peringkat ke-61).

ÂÂ

Jeffrey P. Bezos membawa perusahaannya membukukan peningkatan BV terbesar setelah Apple itu dengan cara yang unik dan berani. Mendefinisikan komunitas sebagai “tetangga membantu tetangga lain membuat keputusan beli”, CEO Amazon ini membiarkan pengguna situsnya melakukan review negatif, tak peduli hal itu bisa membuat banyak orang batal membeli. Dia juga tak takut memangkas pembelanjaan iklan konvensional dan menyalurkan penghematan tersebut ke pelanggan dalam bentuk penurunan harga jual dan peningkatan layanan

ÂÂ

Pemikiran di balik strategi antipromosi ini? Keyakinan Bezos bahwa komunitas itu sendiri akan menyebarkan niat baik, dan benefit yang dihasilkan buat komuitas pelanggan, di antara mereka. Pelopor e-tailer ini sadar bahwa yang dapat dia lakukan hanyalah mengontrol rentang dan kualitas produk yang ditawarkan Amazon.

ÂÂ

“If you’re not doing something that people will remark on, then it’s going to be hard to generate word of mouth,”ujar Bezos. Dengan memberikan benefit yang nyata itu, termasuk peluang seluas-luasnya untuk teliti sebelum membeli, Amazon mendapatkan promosi gratis yang pada akhirnya meningkatkan rasa memiliki komunitas pelanggannya.

ÂÂ

Sekali lagi, eksekusi yang konsisten dari visi bisnis yang memperlakukan pelanggan sebagai subjek, bukan sekadar objek, ini lambat atau cepat akan membuat merek Amazon menjadi ikon.

ÂÂ

ÂÂ

ÂÂ


ÂÂ


http://swa.co.id/2005/07/ketika-merek-menjadi-ikon/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar