Kamis, 20 Mei 2010

Menciptakan WOMM yang Efektif

oleh : Taufik Hidayat

Walau dipercaya bisa menjadi jurus mematikan, WOMM tidaklah mudah diterapkan. Apa saja langkah yang harus dilakukan?

Masih ingat kejadian beberapa tahun lalu, ketika wabah demam berdarah menerjang negeri ini? Entah berapa banyak korban yang tewas akibat penyakit yang disebabkan gigitan nyamuk aides aigepty tersebut. Namun, wabah yang oleh pemerintah dikategorikan sebagai kejadian luar biasa tersebut malah menjadi berkah bagi produsen minuman isotonik asal Jepang, Pocari Sweat.

Pocari Sweat dipercaya dapat meningkatkan jumlah trombosit dalam darah yang sangat membantu bagi pasien yang terjangkit demam berdarah. Walau belum terbukti secara medis, khasiat (lain) dari Pocari Sweat tersebut dengan cepat menyebar di masyarakat. Sejak saat itu, penjualan produk besutan PT Amerta Indah Otsuka itu melambung dengan sangat cepat. Di mana-mana-mana Pocari Sweat ludes terjual. Padahal, sebelumnya penjualannya biasa saja, meskipun Pocari sudah menggelontorkan dana sangat besar buat kampanye pengembangan pasarnya di Indonesia.

Fenomena Pocari Sweat menjadi salah satu kisah klasik tentang dahsyatnya word of mouth marketing (WOMM) di Indonesia. Persitiwa Pocari membuktikan bahwa WOMM memiliki dampak yang jauh lebih besar ketimbang iklan miliaran rupiah di media massa. Pertanyaannya, mengapa WOMM punya dampak yang demikian besar? “WOMM dianggap lebih jujur, karena yang berbicara adalah konsumen dengan bahasa konsumen,” ujar Sumardy, konsultan Octovate.

Dalam kondisi seperti saat ini, menurut Sumardy, WOMM bisa menjadi pilihan strategi yang paling tepat. Seperti diungkap oleh Mark Hughes dalam bukunya, Buzzmarketing, setidaknya ada empat faktor yang membuat WOMM bisa menjadi pilihan strategi bagi pemasar. Pertama, kini media massa sudah dipadati iklan. Hampir setiap produk bermain di media komunikasi yang sarat biaya tersebut. Kedua, karena banyaknya produk yang beriklan di media massa, biaya yang dibutuhkan untuk meraih share of voice dan share of mind menjadi lebih besar.

Ketiga, kredibilitas iklan makin menurun. Masyarakat kian menyadari bahwa bahasa yang digunakan pada iklan adalah bahasa produsen, bukan bahasa konsumen. Hal ini berbanding terbalik dengan komunikasi word of mouth (WOM) yang dianggap masih murni menggunakan bahasa konsumen.

Faktor terakhir, teknologi telah berkembang sangat pesat. Perkembangan teknologi semakin memudahkan orang berkomunikasi, entah itu lewat telepon, SMS, surat elektronik ataupun chatting.

Sumardy sangat sepakat dengan apa yang diungkapkan Hugnes dalam bukunya itu. Menurutnya, WOMM sangat penting karena merupakan terobosan yang dapat dilakukan pemasar di saat media pemasaran tradisional seperti iklan mulai berkurang efektivitasnya dan terutama, kredibilitasnya. Kedua, WOMM biasanya berbiaya rendah. Ketiga, WOMM merupakan cara mendekatkan diri dengan konsumen. “Disadari atau tidak, setiap hari kita selalu berkomunikasi dengan orang lain baik secara face to face atau melalui media lain, dan tidak jarang itu melibatkan pembicaraan mengenai merek,” ujarnya.

Hanya saja, menurutnya, saat ini masih banyak pemasar yang salah kaprah terhadap WOMM. Banyak yang beranggapan bahwa WOMM hanya sampai pada produk yang dibicarakan. “Kalau hanya sekadar dibicarakan, tak ada gunanya juga,” ujarnya. WOMM, dijelaskannya, merupakan strategi pemasaran yang utuh. Karena itu, Octovate Consulting Group mengembangkan konsep WOMM yang dibagi dalam tiga tahap: Talking, Promoting dan Selling.

Talking merupakan tahap awal di mana pemilik merek harus dapat mengidentifikasi talkers yang tepat dan menyediakan topik yang menarik dibicarakan. Adapun promoting adalah tersedianya tools untuk talkers agar dapat dibagikan atau disebarluaskan ke orang lain. Dan yang ketiga, selling, bagaimana supaya bisa memengaruhi orang lain juga untuk ikut “menjual” dan mempromosikan produk tersebut.

Menurut Andoko Darta, Co Chairman Euro RSCG Adwork, Euro RSCG 4D, Indonesia, pasar Indonesia sangat cocok untuk strategi WOMM, karena beramah-tamah atau berinteraksi adalah salah satu budaya Indonesia. “Walaupun basa-basi,” katanya, ” esensi ‘berinteraksi’ sangat kuat pada kultur masyarakat Indonesia.”

Indonesia itu orangnya senang ngobrol, jadi konsep WOMM itu pas digunakan perusahaan untuk lebih memperkuat brand-nya,” ujar Yoris Sebastian Nisiho, Creative Consultant OMG Consulting. Yoris menekankan, tema yang disampaikan talkers harus menarik dan transparan. Pemasar pun mesti hati-hati memilih duta merek atau talkers. Mereka harus benar-benar menggunakan produk/jasa tersebut. Jangan sampai sudah jadi talkers, eh…dia malah menggunakan produk pesaing.

Menurut Heru Kuntjoro Adiutama, Direktur Pemasaran PT Fonterrra Brands Indonesia (produsen Anlene), peran talkers dalam WOMM memang sangat vital. Namun, dalam hal ini banyak pemasar yang salah kaprah: mengidentikkan talkers dengan figur publik. “Talkers yang dipilih bukan sekadar dia terkenal atau figur publik, atau hanya karena dia aktif di Twitter dan media sosial lain, tetapi dia juga harus kredibel,” katanya.

Pernyataan Heru dibenarkan Gede Krishna Jaya, GM Manajemen Merek Prabayar Indosat. Menurut Krishna, talkers atau duta merek bukan hanya mereka yang menjadi bintang iklan

Indosat, tetapi juga “orang biasa” yang bisa dengan cepat menularkan ke teman-temannya. Maka, IM3 kerap mengadakan acara di sekolah-sekolah, dan merekrut duta merek di sejumlah sekolah tersebut.

Apa tugas duta merek IM3? Dia akan membicarakan apa saja yang ada di IM3, tetapi pihak Indosat tidak mengatur mereka harus seperti apa. “Kami rutin memilih IM3 ambassador yang kami sebut acaranya Mobile Academia. Jadi, kami pilih dari semua sekolah di seluruh Indonesia, mereka dipilih sesuai dengan karakter IM3,” kata Krishna.

Heru menuturkan, “Para konsumen loyal akan dengan suka rela menceritakan apa yang dirasakan setelah menggunakan Anlene tanpa diminta.” Saat awal-awal Anlene diluncurkan, awareness terhadap kebutuhan kalsium tinggi dan pengetahuan masyarakat akan bahaya osteoporosis sangat rendah di sini. Untuk meyakinkan bahwa kebutuhan kalsium harus dipasok ke dalam tubuh orang dewasa, Anlene menggunakan opinion leader. Ketika itu, mereka menunjuk Retno Maruti (penari senior berusia di atas 40 tahun) dan Ivana Lie (mantan pebulutangkis nasional yang kini menjadi pelatih).

Demikian juga IM3. Selain membentuk wadah IM3 Mobile Academy, IM3 juga menjalin hubungan yang intim dengan komunitas pelanggannya. Melalui komunitas itu, talkers akan mengungkapkan pengalamannya memakai IM3. Selain itu, IM3 juga memanfaatkan media sosial yang mulai marak kala itu, agar relevan dengan pangsa pasar. “Kami harus menggunakan bahasa dan cara mereka, itulah cara kami agar tetap relevan,” ujar Krishna.

Tahun lalu IM3 menggunakan Saykoji untuk kampanye, sebagai langkah agar produknya lebih dekat dengan pelanggan. “Saykoji punya banyak penggemar di Facebook dan punya banyak sekali follower di Twitter,” kata Krishna. Pihaknya sengaja menggunakan figur-figur yang relevan dengan IM3.

Di samping itu, IM3 juga memakai Raditya Dika, penulis blog Kambing jantan, yang punya banyak follower di Twitter. Dengan Saykoji, IM3 meluncurkan kampanye heavy online tahun lalu. Konsep yang dibuat “sangat anak muda”. Tahun ini menggunakan Raditya dengan tema Meraih Mimpi, dan Diana Rikasari, fashion blogger, dengan tema kampanye yang sama: Meraih Mimpi.

Menurut Sumardy, media sosial merupakan media yang dapat membantu menyebarluaskan dan meningkatkan terjadinya WOM. Dulu kita harus bertemu seorang demi seorang (one to one) untuk menyebarkan suatu topik. Adapun sekarang dengan adanya media sosial, satu kali klik di situs jejaring sosial saja seseorang bisa menyebarluaskan satu topik ke semua temannya (one to many). “Jadi, spreading word of mouth akan lebih cepat dengan bantuan media sosial ini. Tapi, unsur talkers, topik, dan lain-lainnya tetap menjadi faktor terpenting, bukan media sosialnya. Media sosial hanyalah salah satu alatnya,” ujarnya menegaskan.

Media sosial, masih menurut Sumardy, bisa dijadikan alat untuk merekrut, bahkan sebagai arena bermain bagi talkers. Memang, menurut penelitian seorang profesor di Oxford

University, seseorang bisa menjalin pertemanan dengan 1.500 orang di media sosial, tetapi jika dihitung berdasarkan traffic, ia hanya menjalin komunikasi dengan 150 teman. Ini berarti satu orang tadi hanya efektif menjadi talkers untuk 150 teman terdekatnya saja.

Yoris menandaskan WOMM sudah harus menjadi salah satu alternatif strategi, khususnya strategi komunikasi bagi sebuah merek. “Pakai saja hukum 70:20:10, yakni 70% spend normally, 20% dengan cara yang inovatif, WOMM cukup 10%,” katanya. Sebenarnya, menurut Yoris, iklan di media konvensional pun belum bisa diukur dengan tepat. Syaratnya, strategi pemasarannya pun harus terintegrasi dengan WOMM yang digunakan. Jangan sampai sudah memakai WOMM, tetapi suatu saat membagikan produk gratis. “Yang sudah beli dan mencoba sendiri kan jadi merasa kecele.”

Menurut Handiyanto Widjojo, pengamat pemasaran dari Prasetiya Mulya Business School, pada dasarnya efektivitas berbagai bentuk kegiatan komunikasi pemasaran dapat diriset. Beberapa perusahaan riset telah melakukannya. Dalam kondisi sesungguhnya, hanya sedikit perusahaan yang benar-benar mengandalkan WOMM. Biasanya perusahaan akan melakukan komunikasi pemasaran yang terintegrasi dengan berbagai sarana dan media, sehingga riset perlu dilakukan dengan indikator pengukuran yang tepat untuk mendapatkan dampak murni dari WOMM. “Net Promoter Score yang selama ini banyak dijadikan indikator keberhasilan WOMM sebaiknya diperkaya dengan suatu indikator yang mengukur hingga tindakan membeli, yaitu seberapa banyak dari seluruh orang yang mendengar suatu pesan terhadap suatu produk melakukan tindakan pembelian terhadap suatu barang atau jasa yang ditawarkan,” paparnya.

Namun, Sumardy menjelaskan, yang juga harus diperhatikan adalah berkembangnya WOM negatif. Sarannya, jika terjadi WOM negatif, jangan dibalas, apalagi menyerang individunya. Karena kalau terjadi perang antara merek dan konsumennya, massa akan cenderung membela konsumen sebagai kaum lemah. Langkah berikutnya, berusaha mencari solusi atas hal negatif yang dikeluhkan. “Langkah terakhir, mengubah negative talkers ini menjadi positive talkers. Karena mereka yang mau complain berarti sudah terbukti sebagai talkers yang efektif karena dia mau menyebarluaskan ke orang lain,” ujarnya.



http://swa.co.id/2010/05/menciptakan-womm-yang-efektif/

1 komentar:

  1. Did you know that that you can make cash by locking special areas of your blog / site?
    To start you need to join Mgcash and embed their content locking widget.

    BalasHapus