Kamis, 20 Mei 2010

Dahsyatnya WOMM

oleh : Harmanto Edi Djatmiko


Dengan kian merebak dan beragamnya media komunikasi, pendekatan word of mouth marketing (WOMM) makin poweful. WOMM pun bisa didesain. Namun, hati-hati, jangan sampai salah memilih talker.

Dalam keputusan membeli, rekomendasi dari orang lain berpengaruh sangat besar. Apalagi, bila rekomendasi itu datang dari orang yang dikenal. Dari survei mutakhirnya, perusahaan konsultan McKinsey&Company menemukan, rekomendasi dari orang yang dikenal memberikan kemungkinan 50 kali lebih besar dibanding rekomendasi orang yang tidak dikenal dalam keputusan membeli suatu produk (lihat: A New Way to Measure Word of Mouth Marketing, yang dimuat di McKinsey Quarterly, April 2010).

Di tengah kian merebak dan beragamnya pemanfaatan media komunikasi saat ini, temuan tersebut sungguh penting dicermati oleh para produsen atau pemilik merek (brand). Terlebih, dewasa ini, media komunikasi mutakhir bukan lagi monopoli generasi muda yang diasumsikan paling melek teknologi informasi. Belakangan, sudah menjadi pemandangan biasa, mulai dari anak SD hingga para orang tua (bapak, ibu, om, tante, pakde, bude, bahkan eyang), saling berkirim SMS, chatting, atau sibuk ber-Facebook ria.

Pertimbangannya bukan apa-apa, cuma soal efisiensi. Dewasa ini, setiap saat dengan biaya murah, orang bisa saling berkomunikasi, kapan saja dan di mana saja. Bisa dalam jarak yang begitu dekat, misalnya teman sekelas atau sekantor, bisa juga menembus ribuan kilometer misalnya antarkota, bahkan antarnegara. Selain efisien (baca: irit), merebaknya pemanfaatan media komunikasi baru juga dipicu oleh kenyataan bahwa teknologi informasi (dalam penerapannya) ternyata tak serumit yang diduga.

Para produsen masa kini tentulah paham betul gelombang baru tersebut. Yang dibutuhkan sekarang adalah kecerdikan produsen atau pemilik merek meramu jurus yang paling pas untuk mendekati kelompok-kelompok konsumen yang tersegmentasi dalam seribu satu macam jenis komunitas. Ada komunitas yang tergabung berdasarkan keturunan (paguyuban keluarga), arisan ibu-ibu atau bapak-bapak, kesamaan hobi, profesi, dan sebagainya. Tugas produsen adalah mencari dan menemukan tokoh-tokoh kunci atau figur paling berpengaruh di tiap komunitas itu. Nah, tokoh inilah yang kemudian perlu “digarap” agar mampu menjadi juru bicara (talker) bagi produk atau merek tertentu sesuai dengan kompetensinya.

Menemukan talker yang tepat memang kunci keberhasilan WOMM. Sebab, kalau sampai salah pilih talker, pendekatan WOMM malah bisa menjadi bencana. Studi yang dilakukan The Jay H. Baker Retailing Initiative menunjukkan bahwa konsumen atau talker yang tidak puas sungguh berbahaya. Studi ini menemukan, 31% konsumen yang tidak puas memberi tahu orang lain, malahan 6% dari jumlah tersebut menyebarkannya kepada 6 orang atau lebih. Diperkirakan, dari 100 konsumen yang tidak puas, sebuah toko pengecer (retailer) bakal kehilangan 32-36 konsumen atau calon konsumen akibat getok tular (word of mouth) yang negatif.

Memang, dari para talker yang tepat, diharapkan tak berhenti sebatas membicarakan suatu produk atau merek tertentu, melainkan juga disertai dengan rekomendasi (bahkan bujukan) untuk membeli, yang akhirnya dipungkasi dengan tindakan pembelian. Inilah inti WOMM. Juga menarik, seperti akan Anda baca pada tulisan Sajian Utama setelah ini, WOMM ternyata bisa didesain sesuai dengan tujuan dan keinginan produsen. Jadi, tak usah khawatir, ada ilmu dan kiat yang bisa dipelajari.

Dalam konteks Indonesia, boleh jadi, efek WOMM bisa lebih dahsyat lagi. Sebab, sudah menjadi rahasia umum, sebagian besar Indonesia lebih menikmati berkomunikasi secara lisan dibanding orang dari negara mana pun, terlebih orang-orang Barat. Ini tidak lepas dari masih kuatnya budaya lisan yang diwariskan turun-temurun dari nenek moyang kita.

Tahun ini, untuk kedua kalinya SWA, bekerja sama dengan Octovate Consulting Group, menggelar survei untuk mengetahui sejauh mana produk atau merek di negeri ini menerapkan WOMM dan seberapa signifikan pengaruhnya terhadap penjualan. Responden survei mencakup kawasan Jabodetabek, plus lima kota besar di Indonesia yaitu Bandung, Surabaya, Medan, Makassar dan Denpasar. Survei ini mengukur empat variabel: talking (sejauh mana suatu merek dibicarakan konsumen); promoting (bagaimana konsumen bersedia mempromosikan merek itu); selling (bagaimana konsumen mau menjual merek itu); dan variabel jejaring sosial sebagai pengali dari ketiga variabel tersebut. Dari hasil perkalian inilah diperoleh WOMM Index .

Setelah membaca Sajian Utama ini, kami berharap Anda semakin kreatif dan inovatif menciptakan produk atau jasa yang ramai dibicarakan orang, kemudian dipromosikan, dan akhirnya berbondong-bondong diserbu pembeli.





http://swa.co.id/2010/05/dahsyatnya-womm-2/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar